Logo Eventkampus

Aku ingin membunuhmu ayah

access_time | label Lainnya
Bagikan artikel ini
Aku ingin membunuhmu ayah

Perkenalkan namaku Supriatna. Setiap hari selalu kupasang semangat bahkan setiap 

pagi selalu ku awali dengan berolahraga, tapi lagi-lagi ilusiku selalu mengarah pada 

hal-hal obyektif yang menjadikan luka itu hadir, seperti kicau burung di pagi hari, serta 

obrolan kecil tetangga, dan riuh pedati yang lewat setiap pagi, pada dasarnya ya aku 

memang anak yang malas, setiap hari kuhabiskan waktuku untuk terus menderu 

mengabaikan perintahmu, bahkan pada suatu masa selalu saja ibu memaksaku untuk 

seperti orang lain, tak tanggung-tanggung pengaduannya selalu didengar oleh semua 

keluargaku, sebenarnya dalam hati selalu ku berucap kata yang tak sepatutnya ku 

ucapkan, namun kurasa hal itu hanya akan melupakan amarahku semakin dalam, ketika 

semua perhelatan itu kujamah aku semakin tahu bahwa peranku memang tak berarti di 

dalam keluarga kecilku yang kumuh ini.

Disela kesibukanku yang tak ada manfaatnya setiap hari, ingin ku memaki kepada 

Tuhan bahwa ini adalah suatu masalah yang jelas ingin kuselesaikan segera, namun 

nyatanya hal ini kulakukan setiap hari dengan kesia-siaan yang sangat tak jelas, 

memang benar sosial selalu tak adil apalagi melibatkan perasaan yang katanya Maha 

tau dan mampu mengimbangi seluruh kegelisahan dan pemecah suatu masalah, dalam 

denting yang teramat sunyi seolah-olah aku memiliki peran yang sangat utama, namun 

dibalik keramaian justru aku menjadi si penderu duka dan penyamar sandiwara 

kebahagiaan, detik demi detik kuhabiskan segelas air penuh kefanaan ini, sunyi sepi 

terus menderai seakan tak akan pernah pergi, dan ambisiku mengenai hidup seakan tak 

pernah ingin kuharapkan lagi.

Cahaya kunang-kunang, serta gemericik gerimis mengajarkanku bagaimana cara tahu 

diri yang paling disengaja, berbagai dinamika dalam hidup ini selalu kuperiksa lagi dan 

lagi, tak lain hanya untuk memastikan bagaimana alur skenario Tuhan apakah berjalan 

sesuai keinginanku, ataukah aku yang harus mengikuti alur Tuhan, Kita tunggu saja 

nanti.

Ayah,, mati saja kau,!!! aku tak sudi bila harus melihatmu bekerja, melihatmu terbebani 

melihat anakmu ini yang tak pernah berkembang dan tak pernah ingin menyudahi masa

kelamya. Aku tak ingin bercanda denganmu, karna yang kutahuu ketika bercanda 

denganmu selalu mulutmu menyulutkan sesuatu yang kau sembunyikan tentang 

pedihnya hidup ini, apalagi saat ini kau semakin tua lebih baik kau sudahi saja masa 

hidupmu, karna waktu jelas tak dapat berkompromi denganmu.

Setidaknya dengan kau mati, kau tidak akan pernah melihat seberapa jauh lagi anakmu 

ini akan menanggung setiap sesuatu yang penuh pertanyaan mengenai kehidupan ini. 

Kukira khalayak ramai tak perlu lagi melihatmu berpura-pura tabah dan berpura-pura 

baik-baik saja melihatku, bahkan ketika semua derai air matamu tak sanggup lagi 

keluar, mungkin akulah anak yang pertama kali yang tidak akan memberikanmu seulas 

tisu, tak perlu kukira dan ku fikirkan lagi, jelas kau adalah suatu hantu yang membuatku 

menyesal akan adanya perihal tentang suatu perhelatan yang menyengat dan selalu 

menggelegar ini.

Jangan paksa aku untuk memakai jasa orang lain agar aku dapat menjadi seseorang 

yang dapat dikatakan sempurna, cukup aku haturkan saja pembelaan terhadap 

kebodohan yang kau tanam dalam hidupku, semua hal dapat kau intruksikan dengan 

pertimbangan yang sederhana, tapi janganlah sesekali kau libatkan aku pula di 

dalamnya, apalagi berbagai jenis mahluk yang berpura-pura ingin sekuat dirimu kurasa 

tidak sedikit, mereka mengambil peranmu dan meniru segala aspek kehidupan yang kau 

ajarkan kepadaku selaku anakmu yang tolol ini.

Kini waktu tertanda bahwa Tuhan tak menaburkan lagi segenggam RahmatNya 

kepadaku, aku mengetahui hal ini karna kurasakan sendiri, cepatlah mati ayah ! kaki 

yang sudah kakumu takan kuat lagi menepis setiap permasalahan yang ada, bahkan 

matamu sudah hampur buta, karna kata rabun sudah tak pantas lagi untuk kugunakan, 

kau takan sanggup lagi melihat semakin banyak permasalahan yang ada.

Aku akan tetap memberimu bekal berupa kain kafan, dan segenggam kamper, yang 

mana itu akan sedidkit menenangkanmu di alam kubur sana, akan kusirami kuburanmu 

dengan airmata yang kukumpulkan selama aku hidup. Cukuplah aku yang menjadi 

seutas tali yang akan mengirimu ke neraka. Aku mungkin yang akan menggiringmu 

untuk tetap mati saja, karna sudah begitu banyak derita yang kau tanggung sendiri.

Untuk ibu,,,,, jangan beritahu aku jikalau nanti aku tidak bisa menjadi seperti ayah, 

karna setiap yang kuterima dari Tuhan dan Manusia selalu kau kaitkan atas dasar takdir, 

yang mana naluriku jelas tak dapat menerima hal itu, aku tahu agama akan membatasi 

kita dan agama pula yang akan menjadikan kita semua terpisah selamanya.

Kurasa waktu sudah tidak sejalan dengan gerak langkahmu bu, bila nanti ayah mati kau 

harus merelakannya dia tiada, syukur-syukur kau juga sama mau menyusulnya. Ini 

hanya angan yang harus kusampaikan untuk seluruh manusia bu, biar kita semua sadar 

bahwa kehidupan ini bukan dilandasi dari penilaian subjektif maupun objektif saja, jauh 

daripada itu ada berbagai nalar yang tak bisa di rasionalkan begitupun sebaliknya, 

banyak manusia terhimpit oleh keadaan yang memaksanya untuk tetap hidup, sekan 

kehidupan ini hanyalah suatu permainan Tuhan.

Untuk ayah dan ibu cepatlah mati ! agar aku, kau dan semuanya dapat memahami apa 

itu arti ketidak adilan dan suatu kebijaksanaan itu suatu moralitas keterpaksaan yang 

diciptakan Manusia atas ketidak hati-hatinnya.

Penulis

foto Supriatna
Supriatna
Golongan darah : B Hobby : Menulis Motto hidup : Hitam tidak selamanya kelam Cita-cita : Menteri Agama

Komentar