Perkenalkan namaku Supriatna. Setiap hari selalu kupasang semangat bahkan setiap
pagi selalu ku awali dengan berolahraga, tapi lagi-lagi ilusiku selalu mengarah pada
hal-hal obyektif yang menjadikan luka itu hadir, seperti kicau burung di pagi hari, serta
obrolan kecil tetangga, dan riuh pedati yang lewat setiap pagi, pada dasarnya ya aku
memang anak yang malas, setiap hari kuhabiskan waktuku untuk terus menderu
mengabaikan perintahmu, bahkan pada suatu masa selalu saja ibu memaksaku untuk
seperti orang lain, tak tanggung-tanggung pengaduannya selalu didengar oleh semua
keluargaku, sebenarnya dalam hati selalu ku berucap kata yang tak sepatutnya ku
ucapkan, namun kurasa hal itu hanya akan melupakan amarahku semakin dalam, ketika
semua perhelatan itu kujamah aku semakin tahu bahwa peranku memang tak berarti di
dalam keluarga kecilku yang kumuh ini.
Disela kesibukanku yang tak ada manfaatnya setiap hari, ingin ku memaki kepada
Tuhan bahwa ini adalah suatu masalah yang jelas ingin kuselesaikan segera, namun
nyatanya hal ini kulakukan setiap hari dengan kesia-siaan yang sangat tak jelas,
memang benar sosial selalu tak adil apalagi melibatkan perasaan yang katanya Maha
tau dan mampu mengimbangi seluruh kegelisahan dan pemecah suatu masalah, dalam
denting yang teramat sunyi seolah-olah aku memiliki peran yang sangat utama, namun
dibalik keramaian justru aku menjadi si penderu duka dan penyamar sandiwara
kebahagiaan, detik demi detik kuhabiskan segelas air penuh kefanaan ini, sunyi sepi
terus menderai seakan tak akan pernah pergi, dan ambisiku mengenai hidup seakan tak
pernah ingin kuharapkan lagi.
Cahaya kunang-kunang, serta gemericik gerimis mengajarkanku bagaimana cara tahu
diri yang paling disengaja, berbagai dinamika dalam hidup ini selalu kuperiksa lagi dan
lagi, tak lain hanya untuk memastikan bagaimana alur skenario Tuhan apakah berjalan
sesuai keinginanku, ataukah aku yang harus mengikuti alur Tuhan, Kita tunggu saja
nanti.
Ayah,, mati saja kau,!!! aku tak sudi bila harus melihatmu bekerja, melihatmu terbebani
melihat anakmu ini yang tak pernah berkembang dan tak pernah ingin menyudahi masa
kelamya. Aku tak ingin bercanda denganmu, karna yang kutahuu ketika bercanda
denganmu selalu mulutmu menyulutkan sesuatu yang kau sembunyikan tentang
pedihnya hidup ini, apalagi saat ini kau semakin tua lebih baik kau sudahi saja masa
hidupmu, karna waktu jelas tak dapat berkompromi denganmu.
Setidaknya dengan kau mati, kau tidak akan pernah melihat seberapa jauh lagi anakmu
ini akan menanggung setiap sesuatu yang penuh pertanyaan mengenai kehidupan ini.
Kukira khalayak ramai tak perlu lagi melihatmu berpura-pura tabah dan berpura-pura
baik-baik saja melihatku, bahkan ketika semua derai air matamu tak sanggup lagi
keluar, mungkin akulah anak yang pertama kali yang tidak akan memberikanmu seulas
tisu, tak perlu kukira dan ku fikirkan lagi, jelas kau adalah suatu hantu yang membuatku
menyesal akan adanya perihal tentang suatu perhelatan yang menyengat dan selalu
menggelegar ini.
Jangan paksa aku untuk memakai jasa orang lain agar aku dapat menjadi seseorang
yang dapat dikatakan sempurna, cukup aku haturkan saja pembelaan terhadap
kebodohan yang kau tanam dalam hidupku, semua hal dapat kau intruksikan dengan
pertimbangan yang sederhana, tapi janganlah sesekali kau libatkan aku pula di
dalamnya, apalagi berbagai jenis mahluk yang berpura-pura ingin sekuat dirimu kurasa
tidak sedikit, mereka mengambil peranmu dan meniru segala aspek kehidupan yang kau
ajarkan kepadaku selaku anakmu yang tolol ini.
Kini waktu tertanda bahwa Tuhan tak menaburkan lagi segenggam RahmatNya
kepadaku, aku mengetahui hal ini karna kurasakan sendiri, cepatlah mati ayah ! kaki
yang sudah kakumu takan kuat lagi menepis setiap permasalahan yang ada, bahkan
matamu sudah hampur buta, karna kata rabun sudah tak pantas lagi untuk kugunakan,
kau takan sanggup lagi melihat semakin banyak permasalahan yang ada.
Aku akan tetap memberimu bekal berupa kain kafan, dan segenggam kamper, yang
mana itu akan sedidkit menenangkanmu di alam kubur sana, akan kusirami kuburanmu
dengan airmata yang kukumpulkan selama aku hidup. Cukuplah aku yang menjadi
seutas tali yang akan mengirimu ke neraka. Aku mungkin yang akan menggiringmu
untuk tetap mati saja, karna sudah begitu banyak derita yang kau tanggung sendiri.
Untuk ibu,,,,, jangan beritahu aku jikalau nanti aku tidak bisa menjadi seperti ayah,
karna setiap yang kuterima dari Tuhan dan Manusia selalu kau kaitkan atas dasar takdir,
yang mana naluriku jelas tak dapat menerima hal itu, aku tahu agama akan membatasi
kita dan agama pula yang akan menjadikan kita semua terpisah selamanya.
Kurasa waktu sudah tidak sejalan dengan gerak langkahmu bu, bila nanti ayah mati kau
harus merelakannya dia tiada, syukur-syukur kau juga sama mau menyusulnya. Ini
hanya angan yang harus kusampaikan untuk seluruh manusia bu, biar kita semua sadar
bahwa kehidupan ini bukan dilandasi dari penilaian subjektif maupun objektif saja, jauh
daripada itu ada berbagai nalar yang tak bisa di rasionalkan begitupun sebaliknya,
banyak manusia terhimpit oleh keadaan yang memaksanya untuk tetap hidup, sekan
kehidupan ini hanyalah suatu permainan Tuhan.
Untuk ayah dan ibu cepatlah mati ! agar aku, kau dan semuanya dapat memahami apa
itu arti ketidak adilan dan suatu kebijaksanaan itu suatu moralitas keterpaksaan yang
diciptakan Manusia atas ketidak hati-hatinnya.