Pendahuluan
Penerapan nilai budaya dan pendidikan karakter adalah upaya untuk membantu mempersiapkan generasi bangsa yang berkualitas dan siap untuk menghadapi tantangan masa depan. Kemendiknas (2010) menyatakan bahwa pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Pendidikan diharapkan mengembangkan kualitas generasi muda muda sehingga dapat menekan timbulnya masalah budaya dan karakter bangsa. Sehingga hakikat dari pendidikan karakter, upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki tabiat yang terbentuk dalam sebuah pembelajaran dan diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Menurut Santrock (2014) pendidikan karakter adalah pendekatan langsung pada pendidikan moral, yakni mengajari siswa dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan tak bermoral dan membahayakan orang lain dan dirinya sendiri. Sehingga Arthur (2003) menyatakan bahwa guru diharapkan untuk mengajarkan keterampilan, pemahaman dan sikap yang merupakan bekal untuk hidup. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, yang menempatkan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi pembagunan nasional.
Implementasinya secara makro pendidikan karakter dilaksanakan secara menyeluruh dan berkesinambungan dengan intervensi dari pihak baik satuan pendidikan, keluarga, maupun masyarakat. Pembentukan karakter menjadi perhatian utama dalam pendidikan nasional. Secara eksplisit pendidikan nasional memiliki fungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaska kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan pemerintah seperti perbaikan kurikulum, penambahan jumlah guru dan pelatihan keprofesionalan guru. Namun, Soedijarto menyatakan bahwa pendidikan nasional salah satunya dihadapkan pada masalah pendidikan yang belum terencana dan sistematik diberdayakan untuk berfungsi dan mencapai tujuan pendidikan nasional secara optimal.
Pengembangan keterampilan sosialisasi dan integrasi pendidikan karakter adalah bagian penting dari kesuksesan akademik anak. Sehingga pendidikan nasional tidak hanya sekedar mengembangkan intelektualitas tetapi harus disertakan pembentukan watak dan perilaku yang baik, tangguh dan dapat beradaptasi dengan lingkungan sekaligus mencintai adat, budaya, dan menghargai serta menghormati negara maupun bangsanya sendiri yang diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Seharusnya pendidikan dirancang agar membawa siswa ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya pengamalan nilai secara nyata, sehingga semua mata pelajaran yang dipelajari siswa di sekolah harus bermuatan pendidikan karakter dengan harapan dapat membawa siswa menjadi manusia yang berkarakter.Pendidikan matematika dipandang sebagai suatu keadaan atau sifat bahkan nilai yang bersinergis dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter dalam pembelajaran matematika di sekolah dapat menekankan kepada kemampuan hubungan antar manusia dan menghargai adanya perbedaan individu baik dalam kemampuan maupun pengalaman.
Pembahasan
Budaya dan Pendidikan Karakter
Budaya adalah suatu pola hidup yang tumbuh dan berkembang pada kelompok manusia yang mengatur agar setiap individu mengerti apa yang harus dilakukan, dan untuk mengatur tingkah laku manusia dengan berinteraksi dengandengan manusia lain. Pendidikan karakter dapat di definisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Lickona (1991) menyatakan menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Bertitik tolak dari definis tersebut, ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang ingin kita bangun pada diri para siswa, jelaslah bahwa ketika itu kita menghendaki agara mereka mampu memahami nilai-nilai tersebut, memperhatikan secara lebih mendalam mengenai benarnya nilai itu, dan kemudian melakukan apa yang diyakininya itu, sekalipun harus menghadapi tantangan dan tekanan baik dari luar maupun dalam diri. Dengan kata lain mereka memiliki kesadaran untuk memaksa diri melakukan nilai-nilai itu. Pendidikan karakter adalah sebuah proses untuk mengubah jati diri seseorang peserta didik untuk lebih maju. (Retno Lestyarti:2013).
Pengertian yang disampaikan Lickona di lihatkan memperlihatkan adanya proses perkembangan yang melibatkan pengetahuan (moral knowing), perasaan (moral feeling), dan tindakan (moral action) sekaligus juga memberikan dasar yang kuat untuk membangun pendidikan karakter yang koheren dan komperehensif.
Menurut Lickona (1991) ada tujuh alasan mengapa pendidikan karakter itu harus disampaikan. Ketujuh alasan yang dimaksud adalah sebai berikut: (1) Cara terbaik untuk menjamin siswa memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya, (2) Cara untuk meningkatkan prestasi akademik, (3) Sebagian siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain, (4) Persiapan siswa untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat yang beragam, (5) Berangkat akar dari masalah yang berkaitan dengan problem moral-sosial, seperti ketidaksopanan,ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan etos kerja (belajar) yang rendah, (6) Persiapan baik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja, (7) Pelajaran nilai-nilai budaya yang merupakan bagian dari kerja peradaban.
2. Kurikulum 2013
Lahirnya kurikulum 2013 diawali dengan serasehan yang diadakan oleh mantan kementerian Pendidikan Nasional pada tanggal 14 Januari 2010 dengan tema “Serasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya Bangsa” di Hotel Budikara Jakarta. Peserta serasehan ini adalah para pakar pendidikan, tokoh masyarakat, budayawan, rohaniawan, akademisi, birokrat, praktisi, pengelola pendidikan, dan pihak-pihak lain hadir dalam acara tersebut. Pada akhir serasehan disepakati komitmen pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, maka disusunlah kurikulum 2013 yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya. Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang sarat dengan pendidikan karakter. Mindset ini yang disadari sejak awal sebelum memahami teknis pelaksanaan Kurikulum 2013. Jika tidak ada landasan pemikiran ini, maka kita akan merasa terbebani oleh banyaknya “pekerjaan” yang harus dikerjakan. Pekerjaan yang akan banyak menyita waktu adalah mengumpulkan nilai peserta didik di setiap mata pelajaran dari aspek sikap dan keterampilan karena tidak lagi berbentuk nilai angka tetapi berbentuk uraian (kualitatif).
Kurikulum 2013 ini dirancang berdasarkan landasan yuridis, landasan filosofis, landasan teoretis, dan landasan empiris.
Landasan Yuridis
Landasan Yuridis Kurikulum adalah Pancasila dan UUD 1945, UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang isi.
Landasan Filosofis
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Landasan Teoritis
Kurikulum dikembangkan atas dasar teori pendidikan berdasarkan standar dan teori pendidikan berbasis kompetensi.
Landasan Empiris
Kurikulum merupakan proses totalitas pengalaman peserta didik di satu satuan jenjang pendidikan untuk menguasai konten pendidikan yang dirancang dalam rencana.