HUKUM KORUPSI MENURUT ISLAM

access_time | label Berita

             Salah satu penyakit dan ancaman sosial yang sangat laten adalah pencurian dalam berbagai manivestasi dan bentuknya, baik milik pribadi, milik orang lain, maupun milik umum (publik), baik secara langsung maupun melalui jabatan, otoritas dan fasilitas politik dan hukum yang dimilikinya, sehingga seorang pakar menyebut bangsa yang teridap wabah hobi bersama “mencuri rame-rame” dari yang kecil-kecilan sampai korupsi kelas kakap sebagai bangsa cleptomania, seperti bangsa Indonesia ini. Para koruptor lebih suka korupsi rame-rame, seolah berprinsip meminjam slogan sebuah iklan “nikmatnya rame-rame” sehingga sulit ditindak. Tindak kejahatan penyelewengan dan penilepan harta milik publik apa yang dikenal sebagai tindakan korupsi (corruption) sebenarnya dari bahasa latin (corruptio yang artinya ‘penyuapan’; dari corrumpere yang artinya ‘merusak’). Korupsi merupakan perbuatan tercela berupa penyelewengan dana, wewenang, amanat, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompoknya yang dapat merugikan negara atau pihak lain.

             Syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia apa yang disebut sebagai maqashidusy syari’ah. Diantara kemaslahatan yang hendak dituju tersebut adalah terpeliharanya harta (hifdzul maal) dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan. Hukum perbuatan korupsi, menurut pendapat ulama fiqih, secara aklamasi dan konsensus (ijma’) adalah haram karena bertentangan dengan prinsip maqashidusyi syari’ah. Keharaman perbuatan korupsi tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi antara lain sebagai berikut.

  • Pertama: korupsi adalah perbuatan curang dan penipuan yang berpotensi merugikan keuangan negara dan kepentingan publik (masyarakat) yang dikecam oleh Allah S.W.T. Dalam surah al-Imran: 161 dengan hukuman setimpal di akhirat. Ayat ini turun berkaitan peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Jarir yaitu hilangnya sehelai kain wol merah yang diperoleh dari rampasan perang. Setelah dicari, sehelai kain itu tidak ada dalam catatan inventaris harta rampasan perang sehingga ada yang lancang berkata, “Mungkin Rasulullah SAW sendiri yang mengambil kain itu untuk dirinya.” Agar tuduhan tersebut tidak menimbulkan keresahan dikalangan umat islam dan membersihkan citra beliau maka turunlah ayat tersebut diatas yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mungkin berlaku korup dan curang dalam amanah harta publik berupa rampasan perang. Bahkan Nabi mengancam siapapun yang mengkorup harta milik negara (ghulul) akan menjadi bara api nantinya di neraka dan demikian pula amalnya yang berasal dari hasil khalifah Umar bin Abdul Aziz (63-102 H) yang memerintahkan kepada putrinya untuk mengembalikan kalung emas yang dihibahkan oleh pengawas perbendaharaan negara (baitulmal) sebagai tanda jasa dan penghormatan kepada ayahnya.
  • Kedua: perbuatan korupsi berupa penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain merupakan pengkhianatan terhadap amanat dan sumpah jabatan. Mengkhianati amanat adalah perbuatan dosa dan salah satu karakter munafik yang dibenci Allah S.W.T sehingga hukumannya haram (al-Anfaal: 27 dan an-Nisaa: 58).
  • Ketiga: perbuatan korupsi untuk memperkaya diri dan orang lain dari harta negara adalah perbuatan zalim, karena kekayaan negara adalah harta publik yang berasal dari jerih payah masyarakat termasuk kaum miskin dan rakyat kecil. Perbuatan zalim ini patut mendapatkan azab yang pedih (az-Zhukruf: 65).
  • Keempat: termasuk kategori korupsi adalah tindakan kolusi dengan memberikan fasilitas negara seseorang yang tidak berhak karena deal-deal tertentu, seperti menerima suap (pemberian) dari pihak yang diuntungkannya tersebut. Perbuatan ini sangat dikutuk Nabi SAW dalam sabdanya, “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap.” Dalam riwayat lain disebutkan “ Dan perantaranya” (HR. Ahmad). Dan, peringatan beliau dalam sabdanya, “barang siapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu jabatan, lalu kuberi gajinya, maka sesuatu yang dipungutnya tanpa sah diluar gajinya adalah korupsi (ghulul).” (HR. Abu Dawud).

             Adapun hukum memanfaatkan hasil korupsi, termasuk memakainya untuk konsumsi atau belanja pribadi dan keluarga, sumbangan sosial dan biaya ibadah, atau kepentingan lainnya, hukumnya sama dengan memanfaatkan harta hasil usaha yang haram seperti judi, mencuri, menipu, merampok, dan sebagainya. Dalam hal ini, ulama fiqih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh secara ilegal, tidak sah dan haram adalah haram, juga sebab pada prinsipnya harta tersebut bukan hak miliknya yang sah sehingga tidak berhak untuk menggunakannya meskipun dijalan kebaikan (al-Baqarah: 188 dan Ali Imran: 130). Sebagaimana ketentuan kaidah fiqih yang menyatakan, “setiap sesuatu yang haram mengambilnya maka haram pula memberikan/memanfaatkannya.” Pendapat dan ketentuan ini juga didukung oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan harta tersebut harus dikembalikan kepada kepemilikan publik atau negara. Berdasarkan hadist tersebut diatas maka menurut Imam Ahmad bin Hanbal, tidak sah solat dan haji serta ibadah lainnya yang menggunakan harta hasil korupsi. Disamping itu, dalil lain menguatkannya seperti hadist Nabi SAW, “sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR ath-Thabrani) dan sabdanya, “jika seseorang menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal, maka ketika ia mulai melantunkan seruan Talbiyah, datanglah seruan dari langit, Allah akan menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu bahagia. Pembekalanmu halal, kendaraanmu halal, maka hajimu diterima dan tidak tercampur dosa. Sebaliknya, jika pergi haji dengan harta yang haram, maka hajimu berdosa dan jauh dari pahala.” (HR ath-Thabrani).  Sebab, ibadah dan kegiatan sosial bukan sebagai sarana penyucian uang haram (Money Laundring) dan bukan sarana pencitraan diri yang korup sebagai manusia suci.

             Dengan demikian, sangat logis bila hukumannya sangat berat menimbang prinsip maslahat tersebut. Para ulama fiqih telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga kelompok yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan dan tindak pidana Takdzir yang hukumannya diserahkan kepada hakim menurut kemaslahatan yang semestinya dan dapat lebih ringan, sama maupun lebih berat dari hukuman hudud bergantung kepada kasus dan kemudaratannya. Tindak pidana korupsi termasuk dalam kategori tindak pidana Takdzirmeskipun secara umum ada kesamaan dengan pencurian yang hukuman hudud-nya berupa potong tangan dengan memenuhi kriteria dan ketentuan tertentu. Oleh karena itu, penentuan sanksi hukuman Takdzir korupsi, baik jenis, untuk dan beratnya dipercayakan kepada hakim yang harus tetap mengacu kepada maqashidusy syariah  sehingga dapat memberi pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukannya. Sebagai ilustrasi hukuman korupsi, penerapan hukuman takzir dalam sejarah peradilan Islam sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Abdul Qadir Audah (w. 1945) ahli pidana Islam Mesir dalam Tasyri Jina’-nya dibagi menjadi dua bentuk yaitu 1, takdzir’alal ma’ashi (terhadap perbuatan maksiat) dan 2, takdzir ‘ala mashlahah ‘amah (terhadap pelanggaran kepentingan umum).

             Bagi para pelaku KKN di Indonesia bila memang terbukti bersalah dan dapat merugikan negara maka hukumannya haruslah setimpal dengan besarnya korupsi yang dilakukannya, sesuai amanah jabatan yang diembannya dan kadar kemudharatan yang ditimbulkannya serta kesalahan lain yang didukungnya. Dan, tentunya ia dapat dihukum berat bahkan sampai tingkat hukuman mati bila perlu dan bukan hanya sebatas hukuman potong tangan untuk menjerakan masyarakat dari praktik korupsi dan menyehatkan perekonomian sebagaimana telah dilaksanakan di negara-negara lain seperti Cina, Jepang, dan Korea Utara. Namun masalahnya adalah para penegak dan aparat hukum serta petinggi negara harus memberi contoh sebagai clean govenrment yang bebas dari KKN sehingga mampu memberantas koruptor dan menghukum berat para koruptor tanpa pandang bulu, seperti yang dicontohkan oleh Umar bin Abdul Aziz dan Khulafaur Rasyidin sebelumnya serta maklumat Nabi SAW. yang menyatakan bahwa sekalipun putrinya sendiri mencuri niscaya akan dilaksanakan hukuman potong tangan. Dengan demikian, terbuktilah bahwa syariat Islam sebenarnya bernilai universal dan selalu rahmatan lil ‘alamin.

Tags

Penulis

Agung Siswanto
SMK NEGERI 2 KARANGANYAR

Artikel Terkait

Komentar