Dijelaskan Eko, kenaikan permukaan air laut dominan disebabkan oleh naiknya suhu pada permukaan laut serta mencairnya es pada glasial dan es di kutub, yang mana merupakan kontribusi akibat perubahan iklim. Selain itu, naiknya permukaan air laut bisa juga diakibatkan oleh pergerakan lempeng. “Bahkan letak Indonesia yang berada di antara Samudra Pasifik dan Hindia juga dapat menyebabkan adanya variasi kenaikan permukaan laut atau biasa dikenal dengan fenomena El Niño,” paparnya.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah memproyeksikan bahwa kenaikan permukaan air laut dapat mencapai 44 hingga 47 centimeter (cm). “Prediksi tersebut sangat penting bagi kita karena bisa memberikan dampak negatif yang signifikan ke depannya, mengingat banyak kegiatan masyarakat Indonesia dan aktivitas ekonomi-sosial di pesisir,” ujar dosen Teknik Geomatika ini. Dampaknya bisa berupa banjir yang diakibatkan pasang air laut (rob) dan intrusi air laut ke dalam air permukaan dan aquifer.
Eko bersama rekan-rekannya mengambil kawasan pesisir utara Jawa, khususnya Semarang dan Demak untuk dianalisa. Ia mengungkapkan, kota-kota besar di Pulau Jawa biasanya terletak di pesisir utara seperti Jakarta, Pekalongan, Semarang, Tuban, dan Surabaya. “Umumnya kota besar di pantai utara Jawa mengalami penurunan permukaan tanah, sehingga semakin rentan terhadap pengaruh kenaikan permukaan laut,” ungkap Eko.
Secara umum, lanjut Eko, kenaikan permukaan laut di wilayah Indonesia berkisar dari 2 hingga 10 milimeter (mm) tiap tahun. “Di pesisir utara Pulau Jawa, kenaikannya mencapai 5 mm per tahun,” tambahnya.
Pada penelitian ini, menurut Eko, metode yang digunakan untuk menganalisis kerentanan wilayah pesisir menggunakan algoritma Coastal Vulnerability Index (CVI). Dalam CVI ini ada beberapa parameter penting yang digunakan untuk menentukan indeks antara lain geomorfologi, elevasi, perubahan garis pantai, pasang surut, tinggi gelombang, dan kenaikan permukaan laut.
“Setelah memasukan nilai kerentanan CVI, dilakukan pemodelan tiga dimensi (3D, red) terkait wilayah yang mungkin terdampak dalam 100 tahun ke depan jika tidak dilakukan penanganan yang signifikan oleh Pemerintah Kota Semarang,” beber Eko mengingatkan.
Eko menjelaskan lagi, data kenaikan permukaan laut diperoleh dengan mengolah data dari Satelit Altimetri Multi Missions, yaitu Topex/Poseidon, Jason-1, dan Jason-2. “Data yang diambil dari periode awal tahun 1993 hingga akhir tahun 2016 atau kurang lebih 23 tahun,” tuturnya. Perhitungan data altimetri dilakukan setelah melakukan koreksi jarak dan geofisika, kemudian dilakukan interkalibrasi pada setiap misinya untuk menjaga kontinuitas. Analisanya dihitung menggunakan model Seasonal, Trend decomposition based on LOESS (STL), dan linear trend menggunakan Original Linear Square (OLS) fitting.
Dari hasil penelitian, dengan kondisi awal penggunaan lahan diprediksi bahwa 100 tahun mendatang 11.380 hektare tergenang, di mana 9.127 hektare adalah daerah terbangun dengan kerugian mencapai Rp 313 miliar. “Kondisi eksisting pada pesisir Semarang menunjukkan bahwa kenaikan muka air laut lebih tinggi daripada permukaan daratan, sehingga air laut masuk menggenangi daratan, baik secara langsung maupun melalui alur sungai,” urai Eko.
Daerah yang tergenang tersebut, menurut Eko lagi, memiliki lahan terbangun yang sangat padat apabila dibandingkan dengan daerah yang lebih tinggi. Namun nyatanya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang yang ada saat ini belum mengakomodasi kerentanan yang ada. Sehingga banyak daerah terbangun yang difungsikan sebagai pergudangan, perdagangan, dan jasa bahkan bandara diprediksi dalam wilayah yang sangat rentan tergenang. “Dengan hasil penelitian ini, saya harap dapat menjadi masukan untuk pemerintah daerah agar mempersiapkan mitigasi bencana terhadap kerentanan wilayah pesisir,” ujar Eko berharap.
Sejauh ini, kata Eko, pemerintah kota juga telah melaksanakan persiapan dan antisipasi terhadap bencana, seperti pembangunan dan revitalisasi daerah aliran sungai (DAS) dan saluran banjir, serta membuat rumah pompa pada aliran dan wilayah yang potensi banjir. “Dukungan pemerintah melalui peraturan daerah dan perencanaan wilayah sangat diperlukan, selain itu tak kalah penting yaitu sosialisasi pemerintah daerah terhadap warganya agar menjaga lingkungan sekitarnya,” pungkas Eko. (meg/HUMAS ITS)