Siapa yang tak kenal dengan rumput laut? Jenis alga satu ini merupakan salah satu sumberdaya hasil perairan yang telah lama dimanfaatkan dan dijadikan komoditi ekspor. Indonesia merupakan salah satu negara potensial penghasil rumput laut. Produksi rumput laut pun setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI pada tahun 2015 menunjukkan produksi rumput laut di Indonesia mencapai 3,9 juta ton pada tahun 2010 dan terus mengalami peningkatan hingga mencapai 10,1 juta ton pada tahun 2014.
Salah satu jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomis penting dan berpeluang besar untuk dikembangkan adalah rumput laut Kappaphycus alvarezii atau biasa dikenal dengan Eucheuma cotonii. Data statistik yang dirilis Food and Agriculture Organization (FAO) pada Maret 2015 menunjukkan produksi rumput laut Indonesia jenis Kappaphycus alvarezii pada tahun 2013 menempati urutan pertama dunia dengan jumlah produksi sebanyak 8,3 juta ton. Rumput laut jenis ini lebih banyak diekspor dalam bentuk rumput laut kering tanpa mengalami proses pengolahan lebih lanjut.
Semi Refined Carrageenan (SRC) atau karagenan semi murni merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari pengolahan rumput laut Kappaphycus alvarezii. SRC memiliki tingkat kemurnian yang lebih rendah dibandingkan dengan Refined Carrageenan atau karagenan murni. Karagenan tersebut banyak digunakan dalam industri makanan sebagai stabilisator, pengemulsi, pengental dan gelling agent (pembuat gel). Namun, dalam proses pengeringan SRC secara konvensional yaitu menggunakan sinar matahari memiliki kelemahan diantaranya memerlukan lahan luas, tergantung cuaca dan memungkinkan terjadinya kontaminasi dari lingkungan. Selain itu, juga membuat kualitas dan nilai jual dari SRC tersebut menjadi rendah.
Untuk mengatasi hal tersebut mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) memberikan alternatif cara untuk menjaga mutu SRC tersebut. Ahmad Khoeron dan tiga orang mahasiswa IPB melakukan penelitian dengan menggunakan metode vacuum drying atau pengering vakum. Penggunaan metode vacuum drying pada bahan pangan dapat meningkatkan kualitas dan meminimalkan kerusakan kandungan gizi pada bahan pangan serta dapat mempertahankan karakteristik bahan pangan.
“Penggunaan metode pengeringan vakum lebih cepat dalam mengeringkan bahan pangan dibanding dengan penggunaan metode pengeringan konvensional menggunakan sinar matahari,” ujar Khoeron.
Prinsip dari pengeringan vakum yaitu mengeringkan bahan pada kondisi tekanan udara yang rendah, sehingga suhu yang diperlukan untuk mengeringkan bahan lebih rendah. Metode pengeringan vakum memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan metode pengeringan konvensional maupun pengeringan menggunakan metode pindah panas konveksi. Waktu yang dibutuhkan dalam mengeringkan bahan lebih cepat karena proses pengeringan vakum berlangsung pada kondisi tekanan yang rendah, selain itu proses pengeringan vakum tidak membutuhkan suhu yang tinggi sehingga dapat mempertahankan kualitas produk atau bahan yang sensitif terhadap panas.
“Kami berharap ke depan penggunaan metode vacuum drying dalam meningkatkan kualitas semi refined carrageenan (SRC) dari rumput laut Kappaphycus alvarezii lebih banyak digunakan, sehingga penggunaan metode vacuum drying dapat direkomendasikan untuk proses produksi SRC dalam skala industri,” imbuhnya.(AT/NM)
Sumber : ipb.ac.id