Perpustakaan judul masih dalam tahap pengembangan, admin siap menampung kritik dan saran
Perlindungan Hukum Terhadap Saksi (Justice Collaborator) Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Rizky Adiputra NIM. (2014) | Skripsi | -
Bagikan
Ringkasan
Skripsi ini mengkaji tentang perlindungan hukum terhadap saksi (justice collaborator) dalam tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban selaku lembaga yang melindungi saksi dan korban dari ancaman fisik dan psikis. Perlindungan saksi justice collaborator sangat penting karena saksi tersebut memiliki informasi-informasi penting akan adanya suatu tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi. Suatu keberhasilan penegak hukum dalam mengungkap dan membuktikan tindak pidana bergantung pada keberanian dankemauan seseorang menjadi saksi yang akan mengungkap berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya untuk mempermudah pembuktian kesalahan tersangka dan terdakwa. Permasalahannya adalah perlindungan hukum terhadap saksi yang bekerja sama (justice collaborator) berdasarkanUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Hambatan-hambatan apa yang timbul dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap saksi yang bekerja sama (justice collaborator). Penulisan ini dilakukan secara diskriptifanalitis, yaitu menggambarkan fakta yang terjadi kemudian dianalisis berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta metode pendekatan secara yuridis normatif, yaitu dengan menyesuaikan terhadap peraturan yang ada. Data-data yang telah dikumpulkan baik data sekunder, data primer, dan data tersier yang kemudian disusun untuk selanjutnya di analisis secara yuridis kualitatif, yaitu metode penelitian yang bertitik tolak dari norma-norma, asas-asas dan peraturan perundang undangan yang ada, untuk mencapai kepastian hukum. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa Pentingnya peranan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dalam membantu aparat hukum membongkar tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi, maka diperlukan perlindungan hukum untuk melidungi saksi justice collaborator dari ancaman kekerasan fisik maupun psikis dan pengurangan hukuman sesuai ketentuan dari United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) dan United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime (UNCATOC) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. Aturan mengenai perlindungan saksi dan korban di Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Implemetasi perlindungan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) memiliki hambatan dari segi hukum yaitu lemahnya Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mana dalam penerapannya tidak memberikan pengurangan hukuman dan tidak mendapatkan penghargaan. Kelemahan undang-undang LPSK coba ditutupi dengan diterbitkannya SEMA dan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Ringkasan Alternatif
This final script examined the legal protection of witnesses (justice collaborators) in the corruption crimes based on the Law No. 8 Year 1981 on Criminal Procedure Law in conjunction with the Law No. 13 Year 2006 on the Protection of Witnesses and Victims from physical and psychological threats. The protection of justice collaborators is very important because because they have vital information concerning the existence of a particular criminal act, especially that ofcorruption. The success of law enforcement in uncovering and proving criminal acts highly depends on the courage and willingness of a witness to reveal based on what is seen and experienced to facilitate the refutation of suspects and defendants. The problem in this research embraced the legal protection of a witness as justice collaborator based on the Law No. 13 Year 2006 on the Protection of Witnesses and Victims and the existing barriers in implementing the law to protect the witness as justice collaborator. This is a descriptive analysis research. It tried to illustrate the facts which were then analyzed based the existing law. It employed a normative juridical method adjusted to the existing regulations. The collected data, either primary data, secondary data, or tertiary data were then compiled and analyzed by using qualitative juridical analysis. This research started from the norms and principles of the existing laws and regulations, to achieve legal certainty. Based on the research and analysis results, the researcher concluded that considering the importance of justice collaborator in assisting law enforcement agencies to dismantle criminal acts of corruption in particular, it was necessary to give legal protection to the witness from physical violence and psychological threat and appropriate sentence reduction in accordance with the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) and the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC), which had been ratified by the Indonesian government. The rules on the protection of witnesses and victims in Indonesia had already been already stated in the Law Number 13 Year 2006 on the Protection of Witnesses and Victims. The implementation of the justice collaborator protection encountered legal barriers in terms of the weakness of Article 10 verse (2) of Law No. 13 Year 2006 on the Protection of Witnesses and Victims, in which the law did not provide sentence reduction and rewards/appreciation. This weakness was overcome by the release of SEMA and Joint Regulation among the Minister of Justice and Human Rights of the Republic of Indonesia, Attorney General of the Republic of Indonesia, Indonesian National Police Chief, and Chairman of the Witness and Victim Protection Agency of the Republic of Indonesia, No. M.HH-11.HM.03.02.th.2011, No. PER-045 / a / JA / 12/2011, No. 1 of 2011, No. KEPB-02 / 01-55 / 12/2011, No. 4 of 2011 on the Protection of Reporter, Reporter Witnesses, and Justice Collaborators.
Sumber
Judul Serupa
- Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban