Logo Eventkampus
Perpustakaan judul masih dalam tahap pengembangan, admin siap menampung kritik dan saran
Tinjauan hukum Mengenai Penggunaan Alat Pendeteksi Kebohongan (LIe Detector) Pada Proses Pengadilan Pidana Dihubungkan Dengan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Hendra Sinuhaji NIM. (2010) | Skripsi | -
Bagikan
Ringkasan
Kecanggihan teknologi semakin berkembang dengan pesat sehingga mempengaruhi kehidupan manusia. Teknologi informasi telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi dan informasi yang dewasa ini mempengaruhi kehidupan perekonomian secara global khususnya di Indonesia dan secara tidak langsung telah mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia pada umumnya. Perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu sendiri telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang dan masa yang akan datang. Bentuk-bentuk kejahatan yang ada semakin hari semakin bervariasi seperti pencurian data, pelanggaran hak cipta, termasuk penipuan untuk memperoleh informasi personal melalui pengiriman e-mail atau disebut dengan phishing. Kejahatan atau tindak kriminal yang semakin meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh pemerintah sehingga menyebabkan pemerintah sebagai pelayan dan pelindung masyarakat berusaha untuk menanggulangi meluasnya kejahatan, sehingga kejahatan tersebut dapat dipidana. Pelaku kejahatan seringkali tidak mengakui kejahatan yang dilakukannya. Hal tersebut melatar belakangi diciptakannya alat untuk mendeteksi kebohongan. Pada tahun 1902 muncul sebuah alat yang bernama lie detector yang merupakan alat yang pertama kali digunakan untuk mendeteksi kebohongan seorang tersangka. Lie detector digunakan untuk mengetes dan merekam aktivitas elektrik dari otak manusia. Indonesia mulai mengenal alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada tahun 1994. Keberadaan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) di Indonesia merupakan mekanisme legal di Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk menguji bohong atau tidaknya seseorang. Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang diangkat oleh penulis adalah bagaimana peranan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada proses peradilan pidana serta bagaimana undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur tentang pembuktian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada proses peradilan pidana Penelitian dalam skripsi ini dilakukan secara deskriptif analisis dengan menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif. Data hasil penelitian dianalisis secara kualitatif yuridis, yang mana peraturan perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta memperhatikan hirarki peraturan perundang-undangan dan kepastian hukum. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengunan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dilakukan karena kekurangan saksi-saksi dan keterangan dari tersangka, penyidik dapat menggunakan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alternatif. Berkenaan dengan alat bukti teknologi informasi, khususnya yang terkait dengan penggunan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti dapat mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan dasar hukum dalam penggunan sistem elektronik/informasi sebagai alat bukti di pengadilan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini lebih memberikan kepastian hukum karena ruang lingkup berlakunya lebih luas. Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada hal ini dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia apabila hasil pemeriksaan atas keabsahan dari tes alat pendeteksi kebohongan (lie detector) diberikan oleh seorang ahli/keterangan ahli, yang dalam hal ini yaitu ahli loboratorium forensik komputer.
Ringkasan Alternatif
Rapid development of technology has actually affected human life. Information technology has globally changed the society’s behavior and human civilization. Recent development of technology and information has influenced the world economic, especially in Indonesia, and indirectly affected the world society life in general. The technology development has become one of many factors which can cause crime, whereas the crime itself has existed from the beginning of human life and will continue existing in the future. The types of existing crime have grown more various, such as data looting, copyright piracy and identification deception through e-mail or familiarly called phishing. The government focuses on the quality and quantity of crime improvement. The goverment, as the public servant and protector, attempts to overcome this phenomenon, so the criminals can be punished. The criminals often deny the accusation delivered to them. It triggered the invention of lie detector tool. In 1902, for the first time a tool called the lie detector was invented and used to detect the deceit of a suspect. Lie detector is used to test and record electrical activities of a human brain. Indonesia began to use lie detector in 1994. The presence of lie detector in Indonesia is a legal mechanism in POLRI to determine whether a man lies or not. Based on this background, the writer employs the problem of how the role of lie detector in the criminal judicature process is and how the Law Number 8 Year 1981 about Criminal Procedure and the Law Number 11 Year 2008 about Information and Electronic Transaction regulate the law detector verification in the criminal judicature process. This study uses a descriptive analysis method with yuridis normatif approach. The writer uses the kualitatif yuridis to analyze the data. It means a law regulation may not contradict with other regulations. The writer also regards the hierarchy and the due process of law.Based on the result, it can be concluded that the lie detector can be used as the alternative way if the police investigator is short of witnesses and information from the suspect. Related with the information technology evidence, especially the usage of lie detector as the evidence, it can be based on Law Number 11 year 2008 about Information and Electronic Transaction as the cause of action in the usage of electronic/information system in the trial. The Law Number 11 Year 2008 about Information and Electronic Transaction gives the due process of law because the validity scope is wider than the Law Number 8 Year 1981. Lie detector, in this case, can be the legal evidence according to the applied procedural law in Indonesia if the legality of the lie detector test result is given by an expert/expert testimony, such as an expert of computer forensics lab.
Sumber
Judul Serupa
  • Tinjauan Hukum Mengenai Pencemaran Nama Baik Pada Jejaring Sosial Di Media Internet Dihubungkan Dengan Kitab Undang - Undang Hukum Pidana Pasal 310 Juncto Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
  • Tinjauan Hukum Mengenai Tindak Pidana Cracking Menggunakan Botnet (Robot Network) Terhadap Sistem Komputer Dihubungkan Dengan Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
  • Tinjauan Hukum Mengenai Informasi Lowongan Kerja Pada Internet Dihubungkan Dengan Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
  • Tinjauan Hukum Mengenai Kewenangan Mengadili Atas Kasus Illegal Fishing Berdasarkan Track Record Data VMS (Vessel Monitoring System) Dihubungkan Dengan Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Tas Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Juncto Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana Juncto Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik