Logo Eventkampus
Perpustakaan judul masih dalam tahap pengembangan, admin siap menampung kritik dan saran
TINJAUAN HUKUM MENGENAI PERDAGANGAN WANITA MELALUI INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG JUNCTO PASAL 20 UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
Rini Syarliani (2007) | Skripsi | -
Bagikan
Ringkasan
Perdagangan wanita (trafficking) adalah salah satu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia kedua dan keempat. Perdagangan wanita diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) karena perbuatan ini telah menghancurkan harkat dan martabat seseorang khususnya bagi kaum wanita. Perdagangan wanita telah menimbulkan berbagai permasalahan, seperti; luka fisik dan psikologis yang dialami para korban perdagangan wanita dimana hal ini membuat mereka sangat rentan terhadap berbagai macam penyakit salah satunya adalah HIV/AIDS serta menumbangkan wibawa pemerintah dan menghilangkan sumber daya manusia di beberapa Negara. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi sekarang ini, para pelaku tindak pidana perdagangan wanita (trafficker) menggunakan fasilitas internet sebagai media sarana untuk melakukan transaksi perdagangan wanita dengan cara melakukan transaksi seks melalui internet. Berdasarkan fakta yang ada pada Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, tingkat kejahatan perdagangan wanita setiap tahunnya semakin meningkat dan sangat mengkhawatirkan karena perdagangan wanita melibatkan lintas batas Negara. Sementara perlindungan terhadap korban perdagangan wanita sendiri masih terabaikan untuk itu diharapkan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dapat memberikan perlindungan terhadap korban. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif serta dilakukan analisis data kualitatif yuridis. Untuk menanggulangi kasus perdagangan wanita yang semakin meningkat dan mengingat belum adanya ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kejahatan teknologi maka aparat penegak hukum dalam hal ini khususnya pihak Kepolisian dapat menjerat para pelaku perdagangan wanita dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Perdagangan Orang yang ketentuannya yang lebih komprehensif. Selain itu Pasal 378 Tentang Penipuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat juga digunakan untuk menjerat pelaku karena pelaku menggunakan modus penipuan untuk menjerat korbannya. Mengingat tindak pidana yang terjadi akhir-akhir ini berkembang dengan menggunakan fasilitas teknologi internet, maka sebaiknya pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Teknologi Informasi (RUU TI). Dengan demikian diharapkan Undang-undang Teknologi Informasi dapat membantu Undang-undang yang telah ada dalam menaggulangi kasus perdagangan wanita yang terjadi dewasa ini.
Ringkasan Alternatif
Perdagangan wanita (trafficking) adalah salah satu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia kedua dan keempat. Perdagangan wanita diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) karena perbuatan ini telah menghancurkan harkat dan martabat seseorang khususnya bagi kaum wanita. Perdagangan wanita telah menimbulkan berbagai permasalahan, seperti; luka fisik dan psikologis yang dialami para korban perdagangan wanita dimana hal ini membuat mereka sangat rentan terhadap berbagai macam penyakit salah satunya adalah HIV/AIDS serta menumbangkan wibawa pemerintah dan menghilangkan sumber daya manusia di beberapa Negara. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi sekarang ini, para pelaku tindak pidana perdagangan wanita (trafficker) menggunakan fasilitas internet sebagai media sarana untuk melakukan transaksi perdagangan wanita dengan cara melakukan transaksi seks melalui internet. Berdasarkan fakta yang ada pada Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, tingkat kejahatan perdagangan wanita setiap tahunnya semakin meningkat dan sangat mengkhawatirkan karena perdagangan wanita melibatkan lintas batas Negara. Sementara perlindungan terhadap korban perdagangan wanita sendiri masih terabaikan untuk itu diharapkan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dapat memberikan perlindungan terhadap korban. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif serta dilakukan analisis data kualitatif yuridis. Untuk menanggulangi kasus perdagangan wanita yang semakin meningkat dan mengingat belum adanya ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kejahatan teknologi maka aparat penegak hukum dalam hal ini khususnya pihak Kepolisian dapat menjerat para pelaku perdagangan wanita dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Perdagangan Orang yang ketentuannya yang lebih komprehensif. Selain itu Pasal 378 Tentang Penipuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat juga digunakan untuk menjerat pelaku karena pelaku menggunakan modus penipuan untuk menjerat korbannya. Mengingat tindak pidana yang terjadi akhir-akhir ini berkembang dengan menggunakan fasilitas teknologi internet, maka sebaiknya pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Teknologi Informasi (RUU TI). Dengan demikian diharapkan Undang-undang Teknologi Informasi dapat membantu Undang-undang yang telah ada dalam menaggulangi kasus perdagangan wanita yang terjadi dewasa ini.
Sumber