Perpustakaan judul masih dalam tahap pengembangan, admin siap menampung kritik dan saran
TINJAUAN HUKUM MENGENAI PUNGUTAN BEA METERAI DALAM ELECTRONIC PROCUREMENT DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI JUNCTO PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN BEA TARIF METERAI DAN BESARNYA BATAS PENGENAAN HARGA NOMINAL YANG DIKENAKAN BEA METERAI
LIYANI NIM. (2009) | Skripsi | -
Bagikan
Ringkasan
Kemajuan elektronik dapat dimanfaatkan untuk melakukan transaksi seperti layaknya transaksi jual beli yang ada di pasar-pasar tradisional. Dengan teknologi yang tersedia, aktivitas transaksi tersebut dirasakan lebih mudah dan praktis. Begitupun dengan transaksi pengadaan barang dan jasa yang menggunakan media elektronik disebut juga sebagai Electronic Procurement, yang mencakup Informasi Komunikasi serta berbasis teknologi, informasi dan telekomunikasi. Dalam hal pertukaran dokumen-dokumen pada electronic procurement, maka setiap dokumen yang memuat tentang surat-surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak wajib dikenakan bea meterai sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 2 huruf a Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai yang telah disempurnakan melalui peraturan Pemerintahan nomor 24 tahun 2000 tentang Perubahan Bea Tarif Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Meterai. Pada kenyataannya mengenai pungutan bea meterai dalam electronic procurement ini masih banyak ditemukan permasalahan, baik dalam praktek pungutannya sendiri, maupun mengenai keefektivan dari poduk hukum yang seharusnya dapat memberikan kepastian hukum dalam hal pelaksanaan electronic procurement serta mengenai pengenaan bea meterai dalam setiap dokumen pada electronic procurement.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data yang dihasilkan yaitu dianalisis secara yuridis kualitatif, yaitu dengan memperhatikan hirarki perundang-undangan, sehingga dapat tercipta kepastian hukum.
Berdasarkan penelitian, bahwa bea meterai itu termasuk pajak yang dikenakan atas dokumen, pemungutannya dilakukan oleh Negara yang hasilnya akan digunakan untuk kepentingan umum. Pada pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai itu masih dikatakan belum memadai dalam hal pengaturan pungutan bea meterai dalam Electronic Procurement, karena belum mengatur secara khusus mengenai pungutan bea meterai dalam transaksi elektronik yang setiap perjanjiannya menggunakan dokumen elektronik. Munculnya berbagai kendala seperti kurangnya pemahaman dari pihak pelaku transaksi dan juga penegak hukumnya dalam hal penguasaan teknologi informasi. Dan belum adanya tindakan dari pemeritah untuk menciptakan meterai secara elektronik untuk digunakan dalam setiap transaksi elektronik menggunakan media internet. Sehingga terhambatnya aktivitas para pihak dalam pelaksanaan electronic procurement, yang disebabkan masih adanya sebagian kegiatan yang harus dilakukan secara konvensional atau tatap muka, yaitu dalam hal mendapatkan tandatangan para pelaku electronic Procurement serta pembubuhan bea meterai dalam setiap dokumen yang telah disetujui para pihak, yang akan berpengaruh terhadap efisiensi waktu dan biaya dari para pihak dan terdapat peluang bagi para pihak atas terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) walaupun peluangnya hanya sedikit. Selain itu juga Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE)masih belum berlaku dan tidak mencantumkan Pengaturan mengenai meterai elektronik. Sedangkan dalam penjelasan undang-undang nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan The word Trade Organization, bahwa setiap Negara harus menindaklanjuti dan menyempurnakan peraturan perundangan yang diperlukan oleh masyarakat.
Ringkasan Alternatif
Kemajuan elektronik dapat dimanfaatkan untuk melakukan transaksi seperti layaknya transaksi jual beli yang ada di pasar-pasar tradisional. Dengan teknologi yang tersedia, aktivitas transaksi tersebut dirasakan lebih mudah dan praktis. Begitupun dengan transaksi pengadaan barang dan jasa yang menggunakan media elektronik disebut juga sebagai Electronic Procurement, yang mencakup Informasi Komunikasi serta berbasis teknologi, informasi dan telekomunikasi. Dalam hal pertukaran dokumen-dokumen pada electronic procurement, maka setiap dokumen yang memuat tentang surat-surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak wajib dikenakan bea meterai sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 2 huruf a Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai yang telah disempurnakan melalui peraturan Pemerintahan nomor 24 tahun 2000 tentang Perubahan Bea Tarif Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Meterai. Pada kenyataannya mengenai pungutan bea meterai dalam electronic procurement ini masih banyak ditemukan permasalahan, baik dalam praktek pungutannya sendiri, maupun mengenai keefektivan dari poduk hukum yang seharusnya dapat memberikan kepastian hukum dalam hal pelaksanaan electronic procurement serta mengenai pengenaan bea meterai dalam setiap dokumen pada electronic procurement.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data yang dihasilkan yaitu dianalisis secara yuridis kualitatif, yaitu dengan memperhatikan hirarki perundang-undangan, sehingga dapat tercipta kepastian hukum.
Berdasarkan penelitian, bahwa bea meterai itu termasuk pajak yang dikenakan atas dokumen, pemungutannya dilakukan oleh Negara yang hasilnya akan digunakan untuk kepentingan umum. Pada pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai itu masih dikatakan belum memadai dalam hal pengaturan pungutan bea meterai dalam Electronic Procurement, karena belum mengatur secara khusus mengenai pungutan bea meterai dalam transaksi elektronik yang setiap perjanjiannya menggunakan dokumen elektronik. Munculnya berbagai kendala seperti kurangnya pemahaman dari pihak pelaku transaksi dan juga penegak hukumnya dalam hal penguasaan teknologi informasi. Dan belum adanya tindakan dari pemeritah untuk menciptakan meterai secara elektronik untuk digunakan dalam setiap transaksi elektronik menggunakan media internet. Sehingga terhambatnya aktivitas para pihak dalam pelaksanaan electronic procurement, yang disebabkan masih adanya sebagian kegiatan yang harus dilakukan secara konvensional atau tatap muka, yaitu dalam hal mendapatkan tandatangan para pelaku electronic Procurement serta pembubuhan bea meterai dalam setiap dokumen yang telah disetujui para pihak, yang akan berpengaruh terhadap efisiensi waktu dan biaya dari para pihak dan terdapat peluang bagi para pihak atas terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) walaupun peluangnya hanya sedikit. Selain itu juga Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE)masih belum berlaku dan tidak mencantumkan Pengaturan mengenai meterai elektronik. Sedangkan dalam penjelasan undang-undang nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan The word Trade Organization, bahwa setiap Negara harus menindaklanjuti dan menyempurnakan peraturan perundangan yang diperlukan oleh masyarakat.