Perpustakaan judul masih dalam tahap pengembangan, admin siap menampung kritik dan saran
Tinjauan Yuridis Mengenai Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yang Tidak Berwenang Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada perkara Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Udnang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Anggarini Inayah NIM. (2018) | Skripsi | -
Bagikan
Ringkasan
Penyidikan merupakan suatu tahap yang terpenting dalam kerangka hukum acara pidana di Indonesia, karena dalam tahap ini pihak penyidik berupaya mengungkap fakta-fakta dan bukti-bukti atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan tersangka pelaku tindak pidana tersebut. Proses penyidikan harus dilakukan dengan hati-hati dan mempunyai alat bukti serta alasan yang jelas, terutama bagi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena jika proses penyidikan tersebut harus dihentikan, KPK tidak diberikan wewenang untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebagaimana tercantum dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Permasalahan yang dikaji dalam penulisan hukum ini adalah bagaimana penerapan pasal 40 Undang-Undang KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi jika dikaitkan dengan KUHAP, dan bagaimana solusi hukum yang dapat dilakukan terhadap adanya larangan penyidik KPK mengeluarkan SP3 jika penetapan tersangka itu tidak sah secara hukum. Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah secara yuridis normatif, yaitu suatu metode yang mengkonsepkan hukum sebagai norma, kaidah, asas, atau dogma-dogma, sedangkan Metode Analisis Data, dianalisis secara yuridis kualitatif, yaitu dengan cara memperhatikan hierarki peraturan perundangundangan. Pemberlakuan pasal 40 Undang-Undang KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi jika dikaitkan dengan KUHAP bertentangan dengan pasal 109 ayat 2 KUHAP, tetapi berlaku asas ÃâLex Spesialis Derogat Legi GeneralisÃâ yaitu Peraturan Perundangundangan yang khusus mengesampingkan Peraturan Perundang-undangan yang umum, di mana UU No. 30 tahun 2002 merupakan lex spesialis dan KUHAP merupakan lex generalis, sehingga tidak salah jika UU No. 30 Tahun 2002 mengesampingkan KUHAP. Pelimpahan perkara tindak pidana korupsi oleh KPK kepada penegak hukum lainnya karena adanya penetapan tersangka yang tidak sah secara hukum ini adalah merupakan solusi hukum, mengingat menurut Pasal 40 UU KPK disebutkan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 dalam perkara tindak pidana korupsi. Selain itu, pelimpahan perkara tindak pidana korupsi oleh KPK ke penegak hukum lainnya ini juga harus sudah sesuai dengan Pasal 44 Ayat (4) UU 30 Tahun 2002 tentang KPK yang mengatur kemungkinkan adanya pelimpahan perkara oleh KPK.
Ringkasan Alternatif
Investigation is an important step in the framework of criminal procedure law in Indonesia, because in this stage the investigator seeks to uncover the facts and evidence of the occurrence of a crime and find the suspect of the perpetrator of the crime. The investigation process must be conducted with caution and have clear evidence and evidence, especially for investigators of the Corruption Eradication Commission (KPK), because if the investigation process has to be stopped, the KPK is not authorized to issue a Termination of Inquiry (SP3) as stated In Article 40 Undang-Undang Number 30 Year 2002 about the KPK. The problems studied in the writing of this law is how the application of Article 40 of the Corruption Eradication Commission Law in connection with the Criminal Procedure Code, and how the legal solution can be made to the prohibition of KPK investigators issued SP3 if the determination of the suspect is not legally valid. The method of approach used in the writing of this law is the normative juridical, which is a method that conceptualize the law as norms, rules, principles, or dogmas, while Data Analysis Method, analyzed by qualitative juridical, that is by considering the hierarchy of legislation The enactment of Article 40 of the Undang-Undang KPK in the handling of corruption offenses in connection with the Criminal Procedure Code is contradictory to Article 109 paragraph 2 of the Criminal Procedure Law, but the principle of "Lex Specialist Derogat Legi Generalis" is a Legislation which specifically excludes General Regulations Where Undang-Undang Number 30 of 2002 is a specialist lex and KUHAP is a lex generalis, so it is not wrong if Undang-Undang Number 30 of 2002 ruled out Criminal Procedure Law. The deletion of corruption cases by the KPK to other law enforcers due to the determination of the illegitimate suspect is a legal solution, since according to Article 40 of Undang-Undang KPK, it is stated that the KPK is not authorized to issue SP3 in cases of corruption. In addition, the delegation of corruption cases by KPK to other law enforcement agencies must also be in accordance with Article 44 Paragraph (4) of Undang-Undang Number 30 Year 2002 about KPK which regulates the possibility of delegation of cases by KPK.