Grup musik duo Indonesia asal Surabaya yang digawangi oleh Eki dan Kharis dibentuk pada tahun 2009, Silampukau mengusung genre folk. Yang membedakan mereka dari band folk lainnya, semacam Payung Teduh, adalah mayoritas lirik lagunya yang bercerita tentang kehidupan orang biasa di Surabaya.
Awalnya, Eki memiliki proyek musik dengan temannya, dan mengajak Kharis untuk featuring. Tak dinyana, teman Eki tersebut tidak bisa hadir, dan belakangan memutuskan untuk keluar. Akhirnya, Eki meneruskan proyek tersebut dengan Kharis. Di tahun itu pula mereka mengeluarkan EP Sementara. Namun, pada 2010, mereka memutuskan untuk vakum karena merasa kehabisan ide dengan lagu yang itu-itu saja. Kharis pun malah memutuskan keluar dari musik dan memulai pekerjaan kantoran.
Setelah dua tahun vakum, akhirnya di tahun 2013 mereka memutuskan untuk menseriusi kembali musik mereka. Dan hasilnya pada bulan April 2015 Silampukau mengeluarkan album pertama yang mereka beri judul "Dosa, Kota, dan Kenangan" yang berisi 10 lagu.
Bagi mereka, lagu-lagu yang bertemakan sosial tersebut adalah lebih ke arah penuturan tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Surabaya, tanpa bermaksud untuk meneriakkan pesan tertentu. Mereka senang bertemu dan mengobrol dengan warga Surabaya di manapun mereka bertemu: terminal, stasiun, pinggir jalan, warung kopi, dll. Dari obrolan itulah ide lagu-lagu mereka datang.
Karena mengangkat obrolan di warung kopi itulah, Kharis dan Eki mengaku tidak pernah berupaya mengadvokasi dan mewakili suatu kaum di kota.
Selain tema lagu yang rasanya belum pernah dibawakan musisi lainnya, tentu saja yang luar biasa dari mereka adalah lirik dan musiknya. Seperti puisi, liriknya sarat dengan pesan-pesan. Meskipun sederhana, namun musik mereka terdengar sangat indah.
Alasan mengapa mereka seperti mengkhususkan diri Surabaya, ini karena mereka tumbuh besar di sana dan merasa Surabaya sebagai rumah sendiri. Lalu mengapa tidak mengangkat keseharian kota terbesar kedua di Indonesia tersebut sebagai lagu.
Mengalunkan musik sendu dengan lirik-lirik kritis. Penampilan duo Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening menjadi khas karena hampir semua lagu bergenre folk yang mereka bawakan itu bercerita tentang Surabaya. Mulai permasalahan sosial, suasana kota, hingga perempuan penghiburnya. Inilah Silampukau.
Frame yang diambil mulai dari penjual miras, anak-anak yang kehilangan tempat bermain bola, para perantau, THR Surabaya, hingga tentang bekas lokalisasi terbesar di Asia tenggara: Dolly.
Selain Si Pelanggan yang membahas bekas lokalisasi Dolly, album itu memuat Lagu Rantau mengenai pergulatan hidup di kota besar, kisah penjualan minuman keras dalam lagu Sang Juragan serta lagu Doa 1 soal impian musisi untuk menjadi terkenal.
Yang Silampukau bawakan merupakan potret-potret kota. Tagihan awal bulan (dalam Lagu Rantau), misalnya. Semua orang resah dengan itu, termasuk kami. Mereka hanya menceritakan kembali keresahan orang-orang dan tidak berpretensi atau bertendensi mewakili apapun.
Di tengah arus musik Indonesia yang cenderung ke arah genre pop dan rock, Silampukau justru menekuni jalur musik folk. Hal itu, kata Kharis dan Eki, dibuat bukan tanpa alasan. ”Karena keterbatasan untuk membeli gitar elektrik ya kami susah bermain rock. Dengan gitar bolong, kami lalu bermain folk,” ujar Eki.
Namun, lebih jauh dari itu, musik folk dianggap memiliki ruang luas untuk mengeksplorasi. ”Folk punya potensi eksplorasi yang lebih luas daripada genre lain, tapi itu bagi kami. Eksplorasi yang dimaksud adalah dalam menulis lagu, bukan dalam konteks suara atau yang lain,” kata Kharis.
Dalam lagu Doa 1 yang mengandung lirik satire, keduanya bernyanyi mengenai mimpi mereka untuk masuk layar televisi sembari berharap sang ibu belum tua ketika mereka mencapainya.
Silampukau mungkin tidak seterkenal Franky Sahilatua dan Leo Kristi. Namun, keteguhan mereka dalam bertahan di jalur musik folk dan indie, mendapat apresiasi. Setidaknya dari penggemar mereka yang rela antre di Taman Ismail Marzuki untuk membeli tiket pertunjukan Silampukau.