Logo Eventkampus

Kuliah Untuk Apa?!

access_time | label Lainnya
Bagikan artikel ini
Kuliah Untuk Apa?!

Sejak pembangunan sekolah besar-besaran di masa Soeharto, kini kita melihat rutinitas orang-orang pergi untuk belajar di bangku sekolah. Ya, walau hari-hari ini dunia pendidikan sedang bimbang, entah kapan pembelajaran secara normal dimulai.

Tidak semua orang mampu dan mau sekolah. Begitupun dengan saya, yang beruntung bisa masuk kuliah. Punya duit, enggak mau sombong aku.

Banyak teman-teman yang tidak sanggup membayar kuliah karena masalah ekonomi. Sekalipun pemerintah menyediakan beasiswa berprestasi bagi yang tidak mampu, masalahnya banyak yang kemampuan akademiknya pas-pasan. Alhasil, motivasi kuliah juga turun. Mending kerja lalu menikah, simpel. Lagian sepenting itu kuliah?

Tiga Pertanyaan Dasar

Saya ingat ketika minggu pertama kami ospek, ketika diadakan acara seremonial di Auditorium kampus. Banyak orang yang ditanya mengenai motivasi kenapa ingin kuliah.

“Apa sih motivasi kalian masuk kuliah ?” tanya kakak tingkat.

Tiga pertanyaan selanjutnya;

“Siapa yang kuliah karena disuruh orangtua ?” lanjutnya tanya dengan lantang

“Siapa yang kuliah karena ingin mendapat kerja ?”

“Siapa yang ingin kuliah karana mencari Ilmu ?”

Tiga pertanyaan mendasar, meski sebenarnya ini hanya semacam basa-basi dari kakak tingkat untuk mengulur waktu. Namun yang mereka tanyakan sebenarnya menetukan perilaku selama kuliah empat tahun ke depan.

Pertanyaan pertama, ada saja yang menunjukan jari. Motivasi kuliah sangat rendah. Orang yang hanya disuruh tanpa tau alasan cenderung tidak memiliki pendirian. Orang yang mudah larut dalam suasana, ini motivasi yang rendah. Meski saya berharap seiring berjalannya perkuliahan motivasinya berubah.

Pertanyaan kedua, semakin banyak lagi. Memang tidak ada salahnya kuliah untuk kerja, namun motivasi ini masih dirasa kurang. Meski jika dibanding dengan yang pertama, motivasi semacam ini lebih baik dan cukup realistis.

Pertanyaan ketiga, tentu saya memilih yang satu ini. Ternyata memang ini yang paling banyak. Apalagi jika bukan ilmu yang dicari selama kuliah, motivasi ini lebih ideal jika dibanding dua lainnya. Balai perkuliahan sudah sewajarnya menyediakan lautan ilmu, hingga membuat kenyang mahasiswanya. Saya bertekad untuk memegang motivasi ini.

  • Sebenarnya Buat Apa Kuliah?

Selama tiga tahun ternyata ekspetasi yang ada dibenak tidak sejalan dengan realita. Nyatanya, kuliah cenderung pragmatis. Semester awal cukup menikmati dengan sajian teori yang menarik, matakuliah psikologi, logika, sampai filsafat menstimulasi otak saya. Mata kuliah yang baru dan tidak pernah ditemui masa-masa SMA.

Menjelang semester akhir, matakuliah semakin berorientasi pada pekerjaan. Tidak ada salahnya, toh juga butuh karena memang saya juga akan bekerja. Orientasi pragmatis semacam ini membuat mahasiswa juga terbawa suasana, yang ada dibenak mereka kerja ! kerja ! kerja !. Sekali lagi ini tidak salah, namun perlu dikoreksi.

Mahasiswa lama-lama melupakan tujuan mencari Ilmu, lalu beralih ke arah yang lebih pragmatis, mencari pekerjaan. Akbitanya, nilai lebih menjanjikan untuk dikejar ketimbang ilmu. Toh, katanya syarat administrasi  untuk mencari pekerjaan adalah IP (Indeks Prestasi) yang tinggi, konon semakin tinggi nilainya semakin mudah lolos seleksi administrasi.

Namun mental tidak cukup kuat, semua ingin serba instan. Mengidam-idamkan nilai tinggi namun tidak mau susah. Dosen dengan nilai yang longgar menjadi idola, kalau perlu tulis saja dikertas mau nilai berapa, nanti dikasih sesuai permintaan.

Emang ada? Ada, lawong saya mengalami. Selama perkuliahan dosen jarang masuk. Hanya selang-seling, hari ini masuk besok tidak. Materi tidak ada. Alasanya; “ini teori sudah lama, tahun 90an, kalau aku kasih ke kalian mana bisa diterapkan?”

Saat itu memang mata kuliah kewirausahaan. Mata kuliah yang cenderung banyak praktik ketimbang teori. Toh, apa salahnya juga menyampaikan, minimal untuk sekedar wawasan. Bukankah wirausaha dituntut punya wawasan yang luas.

Lagian, kalau memang teori dirasa terlalu usang. Kenapa tidak dibuat saja diskursus, menelaah berbagi teori, mahasiswa disuruh saja cari teori terbaru atau paling tidak cari pendapat para praktisi lalu didiskusikan. Itu cara yang mudah, dosen tinggal mendengarkan saja kalau memang tidak mau repot ngajar. Simpel.

Apalagi dosen tidak pernah masuk, sekali masuk menyodorkan buku absensi yang masih kosong, lalu mahasiswa disuruhnya mengisi kolom tandatangan sampai habis, padahal perkuliahan tidak pernah ada, sebut saja ini perkuliahan ghaib, dosennya pun juga ghaib, mahasiswanya hantu.

Itu sedikit dari banyak keresahan saya. Sampai di semester tiga membuat saya berfikir untuk cuti, lalu pindah ke kampus yang iklim akademisnya lebih baik. Tekanan semacam ini membuat saya sempat stres kuliah, sekali lagi, membuat saya pingin berhenti. Sebab saya pikir sia-sia, toh saya tidak banyak mendapat ilmu di sini. Masa-masa itu mungkin disebut quarter life crisis.

  • Ada yang Lebih Penting

Sekarang saya sudah sembilan semester. Empat setengah tahun berlalu, saya sudah mengalami banyak kekecewaan di lingkungan akademis saya. Walau di akhir perkuliahan ini baru mendapat tempat untuk berkembang. Sedikit terlambat, tapi bukan itu poinnya.

Saya hanya ingin menyampaikan ke adik-adik yang mau kuliah. Tanyakan niat awal kuliah kalian untuk apa? Membahagiakan orang tua? Itu mulia. Mendapat pekerjaan? Itu realistis. Namun ada yang lebih penting dari dua itu; mendapat ilmu, ilmu, dan ilmu.

Apa guna nilai tinggi-tinggi tanpa sebuah proses, perjuangan dan pengorbanan. Nilai hanya akan menjadi angka di rapot, jika tanpa dibaringi ilmu menjadi sebuah kesia-siaan. Mungkin ini juga yang dimaksud oleh Wiji Tukul dalam sajaknya “untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalau hanya untuk mengibuli”. Bukan siapa-siapa yang dikibuli melainkan diri sendiri. Terkibuli oleh buaian nilai sederet A di rapot namun luput akan esensinya, yaitu ilmu. 

Lalu setelah lulus gila hormat, gila uang, dan yang paling parah mangkibuli orang sekitar; berlaku tidak adil. Apa itu mahasiswa yang diinginkan orang tua kita? Ahhh ini hanya nasihat dari mahasiswa lanjut usia

Komentar