Para ahli dari berbagai bidang telah meninjau fenomena kesurupan dari sisi budaya juga medis. Mereka bilang, kesurupan bisa terkait makhluk halus, bisa juga tidak.
Di Indonesia, fenomena kesurupan kerap dikaitkan dengan keberadaan makhluk halus yang memasuki tubuh dan mengambil alih kesadaran seseorang. Kesurupan semacam itu diklasifikasikan oleh para antropolog sebagai kesurupan nonkepemilikan (Erika Bourguignon dan Thomas Evascu, 1977).
Jenis lainnya, kesurupan kepemilikan, menganggap jiwa orang yang dirasuki meninggalkan tubuh karena diculik atau mengadakan perjalanan ke dunia gaib bersama makhluk halus.
Profesor psikiatri Dr Richard Gallagher, berdasarkan pengalamannya merawat pasien kesurupan selama puluhan tahun, percaya bahwa kesurupan yang sebenarnya adalah buatan manusia dan bukan seperti yang sering kita lihat.
Misal, sebab orang itu melakukan perjanjian setan atau okultisme, lalu dia berbuat baik, ia diserang dan ditindas oleh sesuatu yang gaib, sehingga bertindak tak masuk akal sebagai upaya menyelamatkan diri.
Dari segi budaya, kesurupan bukan hanya sekadar pengalaman, tapi juga bagian dari perilaku manusia dan juga kepercayaan. Penelitian Ferraccuti (1996) pernah mengungkap bahwa mereka yang punya kepercayaan kuat terhadap nilai-nilai religius lebih mudah mengalami kesurupan, dan itu disengaja.
Contoh, dalam ritual mistik kuda lumping atau reog, peneliti di AS mengemukakan fungsi dari bunyi-bunyian seperti musik atau tabuhan drum yang mengiringi ternyata berperan penting dalam membuat para medium tetap terjaga dan sadar, meskipun digunakan juga untuk menginduksi kesurupan.
Medium (perantara) atau orang yang kesurupan, bisa saja menyadari keberadaan tubuhnya atau tidak sama sekali, pun mendengar suara-suara di sekitar, tapi semua terasa sangat jauh.
Sebabnya, kesurupan terkait dengan keadaaan berubahnya suatu keadaan (altered state of consciousness/ASC). Jadi, bukan benar-benar hilang kendali atas tubuh dan pikiran.
Beda halnya dengan bermimpi saat tidur, keadaan ini dialami orang saat terjaga--layaknya hipnotis, halusinasi, juga meditasi.
Pada tahap sadar dan tidak itu, perubahan terjadi pada aktivitas otak. Ini dapat diamati dengan bantuan pemindai seperti electroencephalogram (EEG).
Wolfgang Miltner, psikolog klinis dari Friedrich Schiller University di Jena, Jerman, mengungkapkan bahwa dalam keadaan sadar pikiran kita aktif, dan aktivitas otak bisa diukur lewat gelombang beta.
Sebaliknya, aktivitas otak medium akan menurun dan tubuhnya perlahan relaks, EEG menggambarkan ini dalam gelombang alfa dan theta. Semakin rendah frekuensi EEG, semakin dalam kesurupan,urainya.
Sebagaimana dijelaskan Andrew Newberg, peneliti utama studi 2012 dari Thomas Jefferson University di Philadelphia, otak medium jadi kurang aktif agar lebih efisien dalam melakukan sesuatu.
Newberg meneliti aktivitas otak medium berpengalaman dan tidak saat melakukan psikografi--suatu kondisi kesurupan ketika medium dengan sengaja meminta arwah orang mati merasukinya untuk menulis sesuatu.
Ia menemukan bahwa semakin ahli seorang psikografer atau semakin dalam seseorang mengalami kesurupan, akan semakin pasif organ tubuhnya dan sejumlah daerah utama di otaknya seperti lobus frontal dan hippocampus, juga pendengaran.
Dengan demikian, katanya, kesurupan tak bisa selalu dikaitkan dengan gangguan mental.
Secara medis, DSM V (buku manual diagnosis gangguan jiwa) memang menggolongkan kesurupan sebagai gangguan , di mana penderitanya tak mampu mengendalikan pikiran dan perilaku. Nama ilmiahnya adalah Dissociative Trance Disorder (DTD).
Ahli psikiatri pun telah mengungkapkan bahwa gangguan psikologis seperti sindrom Tourette dan skizofrenia, juga pengidap kepribadian ganda, psikosis, maniak, dan histeria, kerap disalahpahami sebagai kesurupan.
Tak mengherankan, bukti menunjukkan bahwa sekitar 29 persen penderita gangguan-gangguan itu mendefinisikan dirinya sebagai setan atau roh halus.
Ditambah lagi, medium kerap mengalami perubahan psikologis dan fisiologis seperti sulit membedakan mana yang halusinasi, delusi dan bukan, hingga berubah nada suara dan juga ekspresi.
Dalam studinya, Siswanto, S.Psi.,M.Si, pengarang buku Psikologi Kesehatan Mental Awas Kesurupan!, menemukan bahwa penyebab utama kesurupan adalah stres sosial dan mental yang ditekan ke alam bawah sadar sehingga memengaruhi kondisi emosional.
Dalam psikologi, kata Spesialis Kedokteran Jiwa dr Silas Henry Ismanto dari RSUP Dr Sardjito, kesurupan juga suatu bentuk mekanisme pembelaan ego. Menurutnya, ini sebagai cara lari dari masalah dan mengurangi stres sementara waktu.
Bahkan, hal aneh di luar logika yang dilakukan para medium sebenarnya bisa dijelaskan secara medis. Misal, munculnya tulisan di kulit secara tiba-tiba, boleh jadi karena suatu penyakit bernama urtikaria dermatografi.âMereka dengan penyakit ini bisa mengelus atau menekan kulit untuk menciptakan garis merah, ujar Dr. Kathleen Sands, peneliti kesurupan.
British journal of psychiatry juga menulis kesurupan bisa menular meski dipicu satu orang. Ini tergolong penyakit yang disebut psikogenik masal, karena bisa menyebar sesuai kredibilitas dan kerentanan suatu komunitas tertentu.Misal, lingkungan homogen bernasib sama atau memiliki penderitaan sama.
Kesurupan masal rentan dialami perempuan muda yang berada di lingkungan penuh tekanan seperti sekolah atau asrama, juga pekerja pabrik. Pun cenderung menimpa orang yang labil dan mudah tersugesti, serta mereka yang percaya pada hal gaib secara berlebihan.
Saat seseorang sedang diambil alih kepemilikan identitasnya atau sedang kesurupan, orang tersebut biasanya mengalami berbagai tanda, berikut tanda tanda sedang kesurupan:
1. Kehilangan kontrol atas tindakannya
2. Perubahan perilaku atau bertindak berbeda
3. Kehilangan kesadaran lingkungan
4. Kehilangan identitas pribadi
5. Kesulitan membedakan kenyataan dari fantasi pada saat kesurupan
6. Perubahan nada suara
7. Perhatiannya berkeliaran
8. Kesulitan berkonsentrasi
9. Kehilangan kesadaran waktu
10. Kehilangan memori atau ingatan
11. Penampilan tubuhnya berubah
Tanda-tanda possession trance disorder tersebut sama dengan tanda-tanda gangguan mental lainnya, seperti demensia, epilepsi, skizofrenia, sindrome tourrete, dan amnesia disosiatif. Sehingga, harus diketahui perbedaan antar penyakit tersebut agar possession trance disorder dapat didiagnosis dengan tepat.