Suku baduy merupakan salah satu penduduk asli daerah Banten, Jawa barat. Letaknya berada di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kenkes, Kecamatan Lauwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Nama Baduy Dalam berawal dari sebutan yang diberikan oleh para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan masyarakat yang hidup secara nomaden tersebut dengan kelompok masyarakat Arab “Badawi”.
Kemungkinan lain adalah karena di wilayah bagian utara suku ini terdapat sungai yang disebut sungai Baduy Dalam. Sementara mereka sendiri lebih suku menyebut diri sebagai “orang kenekeas” sesuai dengan nama wilayah mereka. Masyarakat suku baduy terkenal dengan menjaga adat istiadat dan sangat mencintai alam sekitarnya. Karena suku baduy sangat sadar bahwa mereka hidup berdampingan dengan alam. Sebab itu banyak ajaran suku baduy yang berupa larangan bila diabaikan akan terkena hukum alam. Berikut merupakan kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat suku baduy
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang kenekeas adalah keturunan Batara Cikal yang merupakan salah satu dewa atau batara yang turun ke bumi. Asal usul tersebut juga sering dikaitkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama manusia.
Ciri khas dari Suku Baduy Dalam ini adalah mereka selalu berjalan kaki ke manapun mereka pergi. Pakaiannya juga mudah dikenali yakni putih dan biru tua, serta memakai ikat kepala berwarna putih. Sesekali masyarakat Suku Baduy Dalam terlihat di ibu kota, walaupun bisa dibilang sangat jarang bila dibandingkan dengan masyarakat Suku Baduy Luar.
Keunikan Budaya Suku Baduy
1. Bahasa yang digunakan
Suku baduy umumnya menggunakan bahasa dengan dialek sunda-banten sebagai alat komunikasi dengan masyarakat luar. Masyarakat suku baduy sebenarnya mengerti bahasa indonesia namun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Karena masyarakat baduy tidak mengenal sekolah jadi mereka hanya tidak mengenal budaya tulis menulis. Usaha pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di wilayah tersebut ditolak keras olah masyarakat baduy, karena menurut mereka pendidikan sanagat berlawanan dengan adat istiadat mereka.
2. Pu’un atau Tokoh Panutan
Setiap kelompok atau suku memiliki pimpinan atau tokoh yang menjadi panutan dalam mengambil petunjuk dan keputusan terhadap permasalahan sosial di masyarakat tersebut. Dan masyarakat Baduy Dalam, tokoh masyarakat di suku Baduy Dalam disebut dengan Pu’un.
Pu’un dalam masyarakat Baduy sebagai pemimpin di masyarakat tersebut, sosok Pu’un sangat dihormati oleh Suku Dalam. Pu’un dianggap layaknya seorang presiden oleh masyarakat Suku Baduy Dalam .Pu’un bertugas menentukan masa tanam dan masa panen, dia juga yang menerapkan hukum adat dalam masyarakat Baduy, ia juga yang mengobati penduduk yang sakit.
3. Kepercayaan Suku Baduy
Kepercayaan yang dianut oleh Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun.
4. Hukum Tatanan Masyarakat Baduy
Dalam kehidupan masyarakat baduy jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Maka dari itu, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi atau hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum negara. Tetapi jika ada yang melakukan kesalahan masyarakat baduy jakan melaksanakan hukuman. Suku Baduy juga memiliki bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakuakan, Terdapat 2 hukum dalam suku baduy :
1. Hukuman ringan
Biasanya hukuman ringan berupa pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
2. Hukuman Berat
Diperuntukkan bagi masyarakat yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Rumah tahanan yang dimiliki orang Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat, sangat jelas berbeda dengan yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah Tahanan Adat Baduy bukanlah jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung narapidana di kota-kota, melainkan berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang mengurus/menjaganya.
Selama 40 hari sipelaku bukan dikurung atau tidak melakukan kegiatan sama sekali. Ia tetap melakukan kegiatan dan aktivitas seperti sehari-harinya, hanya saja tetap dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja.
5. Perjodohan
Perjodohan memang sudah tidak lazim bagi masyarakat modern. Dalam kehidupan masyarakat modern, urusan jodoh memang diserahkan sepenuhnya kepada sang anak, orang tua hanya memberi restu. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Suku baduy Baduy Dalam Dalam.
Seorang gadis yang berusia 14 tahun akan dijodohkan dengan laki-laki yang berasal dari suku Baduy Dalam .Selama proses perjodohan orang tua laki-laki bebas memilih wanita yang ingin dijodohkan dengan anaknya. Namun, jika belum ada yang cocok, laki-laki maupun perempuan harus rela menerima pilihan orang tuanya atau pilihan Pu’un.
6. Pakaian Adat Suku Baduy
1. Pakaian untuk Baduy Dalam (Kelompok Tangtu)
para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, serba putih polosyang merupakan simbol dari makna suci bersih karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilubangi pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatan busana ini hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang kemudian ditenun.
Untuk di bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang, sarung kemudian diikat dengan selembar kain. Kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala warna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk Masyarakat Baduy yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.
2. Pakaian untuk Baduy Luar (kelompok masyarakat panamping)
busana yang di pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memang ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam.
Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar menggambarkan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy adalah amat penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.