Buku Thomas John
Bata dan Sonja Sinclair, Bata:
Shoemaker to the World(1990), mengatakan bahwa mereka memulai usahanya dengan modal
$350 dari ibu mereka. Bisnis itu tak langsung berjalan mulus di tahun-tahun
pertama. Pada 1904, Tomas Bata menyeberangi Atlantik pergi menuju New England
Amerika. Dia bekerja di salah satu pabrik sepatu disana selama 6 bulan. “Di
mana dia belajar dari tangan pertama soal permesinan dan teknik menejemen untuk
membuat sepatu modern.”
kembalinya ke Zlin, dia mulai menerapkan apa yang telah
dipelajarinya. Kemudian terjadilah Perang Dunia I di Eropa yang menyebabkan
membuat kebutuhan sepatu untuk para tentara. Bata pun mendapat orderan. Menurut The Encyclopedia of the Industrial Revolution in World History (2014) dan Czech Republic: The Bradt Travel Guide (2006), Bata
mendapatkan keuntung besar saat membuat sepatu untuk tentara Austro-Hungaria.
Pabrik Bata membuat sekitar 50 ribu sepatu sepanjang Perang Dunia I . Setelah
Perang Dunia pertama, usaha Bata telah berkembang di beberapa negara. Mereka
mendirikan Bataville di Perancis, Bata-Park di Swiss, Bata-Estate di Inggris,
Batadorp di Belanda, dan Batawa di Kanada. Di Ceko sendiri ada Batavillage,
desa tempat pabrik Bata dan tenaga kerjanya. Selain pabrik terdapat sekolah,
klinik kesehatan, fasilitas olahraga, dan tentunya kantornya terdapat di sana.
Ketika Tomas Bata meninggal dunia karena kecelakaan pesawat pada 12 Juli 1932, saat
itu perusahaannya sudah mempekerjakan 31 ribu pekerja.
Sebelum Tomas Bata meninggal dunia, produk Bata sudah sampai
ke Hindia Belanda. Sebuah perusahaan pengimpor pun berdiri pada 1931. Gudangnya
yang ada sejak 1931 berada tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok. Perusahaan
itu adalah NV Nederlandsch Indische Schoenhandel Maatschappij Bata.
Tomas Bata bahkan datang ke Indonesia untuk menjadikan Hindia
Belanda sebagai pasarnya. Dari Tanjung Priok, aset perusahaan Bata
lalu dipindahkan ke daerah baru: Rawajati, Kalibata pada 1939. Kemiripan nama
ini kebetulan saja. Menurut Zaenuddin H.M. dalam buku 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe(2012), di daerah
Kalibata dulunya banyak terdapat batu, termasuk batu bata, sehingga dinamai
demikian. Tidak hanya di Kalibata, Pabrik Bata ada juga di Medan, lalu
Purwakarta sejak 1994.
Setelah itu, menurut Grant Gordon dalam Family Wars: Membedah Konflik 20 Dinasti Bisnis Dunia, perusahaan sempat
dipimpin Jan Antonin Bata. Tomas tidak meninggalkan wasiat. Putra Tomas, Thomas
Bata Sr, yang kala itu baru 17 tahun dianggap belum siap memimpin perusahaan.
Pada 1966, barulah perusahaan dipegang olehnya.
Jelang Ceko diduduki oleh tentara NAZI Jerman, menurut
catatan Anthony Cekota dalam The
Stormy Years of an Extraordinary Enterprise: Bata 1932 – 1945 (1985),
Thomas John Bata tiba di Ceko. Dia datang untuk mengawasi persiapan pengiriman
pekerja dan mesin ke Kanada karena hendak mendirikan pabrik di negara itu.
“Selama Perang Dunia II, Bata berikan sumbangsihnya dalam
perang dengan membuat sepatu untuk prajurit, serta perlengkapan militer lain,”
tulis Joyce Wilson dalam Canadian
Book Review Annual (1990).
Setelah Perang Dunia II, setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, pabrik bata di Indonesia menjadi sasaran “ambil-alih” pihak Republik
dalam revolusi 1945. Menurut catatan Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Volume 1 (1978),
“pabrik sepatu Bata di Kalibata dijadikan milik Republik.” Di mana pemerintah
Republik mengawasi para buruhnya.
Pasca-1945, Bata dengan jargonnya “Pembikin Sepatu Terkenal
di Dunia,” tak hanya membuat sepatu kulit yang terkesan formal, tapi juga
sepatu olahraga.
Sepatu senam,
main tenis, bahkan basket. Menurut situs resminya, Bata menghasilkan 7 juta
pasang alas kaki dalam setahun yang terdiri dari 400 model, baik sepatu, sepatu
sandal, dan sandal. Bahan kulit, karet, maupun plastik.
Dulu, Bata tak hanya dipakai oleh warga Indonesia. Sukarno,
menurut catatan Maulwi Saelan dalam bukunya Dari
Revolusi '45 sampai Kudeta '66: kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (2001), punya
“3 Doos berisi 3 pasang sepatu olahraga Bata.”
Berpuluh tahun, sejak zaman kolonial, Bata sudah menyediakan
sepatu untuk orang-orang Indonesia dengan harga yang relatif terjangkau.
Belakangan, Bata kerap dikira produk asli Indonesia. Apalagi pernah ada pabrik
Bata di Kalibata. Padahal, Bata adalah nama keluarga orang Ceko: Tomas Bata dan
saudara-saudarinya.
Sepatu Bata masuk ke Tanah Air sejak 1931 lewat jalur impor, didatangkan dari Singapura (dulu Malaya). Pengimpornya adalah perusahaan penyalur sepatu NV Nederlandsch-Indische di kawasan pergudangan Tanjung Priok. 6 tahun kemudian, Tomas Bata, sang pemilik, membangun pabrik raksasa di tengah-tengah perkebunan karet di Kalibata. Banyak warga sekitar (Rawajati, Kalibata) yang turuntemurun bekerja di Bata.
Disinilah bisnis sepatu Bata menyebar ke seluruh pelosok Tanah Air. Waktu itu sepatu kulit dan karet jadi andalan. Hampir 90% bahan baku dipasok dari dalam negeri. Bata menikmati masa jaya hingga era 1980. Hampir semua orang yang besar di era itu pernah menjajal sepatu ini.
di Lusanne, Swiss, itu tercatat di Bursa Efek Jakarta sebagai PT. Sepatu Bata Tbk.
Di tengah serbuan merek sepatu yang membanjiri Tanah Air, Bata yang kini dipegang oleh generasi ketiga, Thomas G. Bata, berusaha bertahan dengan mengedepankan kualitas yang sudah digaungkan secara turun-temurun dan harga terjangkau. Dua strategi ini membuat perusahaan modal asing itu tak jatuh diguncang badai krisis ekonomi yang menghajar Indonesia pada 1997-1998.
Pada 2008 mereka memindahkan pabrik dan pusat distribusi dari Kalibata ke Purwakarta. Bata kini mengeluarkan merek alternatif seperti North Star, Power, Bubblegummers, dan Marie-Claire. Distribusi pemasaran terus digenjot, dari mal besar sampai toko-toko Bata di pinggir jalan.