Logo Eventkampus

Rehat Medsos, Kasian Kesehatan Mental Saya

access_time | label Opini
Bagikan artikel ini
Rehat Medsos, Kasian Kesehatan Mental Saya

Setelah saya renungkan, ternyata selama dua semester ini saya kerjanya cuma main saja. Alhasil kewajiban kuliah mangkrak, yang sebenarnya karena malas, bukan karena sibuk. Ada aja alasan untuk 'malas', dan alasan malasnya yaa karena sibuk kegiatan.

Njlimet gak ?

Misal ditanya "Gimana skripsi?"

"Belum, lagi persiapan ada projek ini itu. Gak fokus mau skripsi" jawaban yang elegan, kan?

Setelah saya telisik, biang keroknya adalah WA. Setelah punya smartphone dan WA segalanya jadi intim. Mudah saja menghubungi siapa saja dan tanya apa saja. Termasuk ngajak main, kegiatan, diskusi, sampai sekedar guyonan, pasti ada aja di WA. Setidaknya hari ini ada dua ajakan ngopi. Ini asik pasti. Tapi yaa memperpanjang alasan saya untuk malas mengerjakan skripsi.

Mungkin saya harus off dulu dari WA. Mungkin beberapa hari atau minggu atau bahkan bulan. Emang bisa? Bisa saja, dulu waktu SMA pernah HP disita sama guru saya selama tiga minggu karna kebandelan saya main HP di kelas. Alhasil, tidak hanya enggak BBM-an(waktu itu masih rame BBM), tapi juga enggak instagram, twitter, dan facebook. Saya enjoy saja, enak aja walaupun pada awalnya juga agak bingung.

Saya jadi paham beberapa seniman memilih membatasi dirinya tidak menggunakan media sosial. Salah satunya Reza Rahardian tidak menggunakan Instagram dan Twitter. Mungkin yaa itu, karena media sosial memberi efek terlalu intim, sampai tidak ada ruang untuk diri sendiri.

“Dengan tidak ada medsos pun karier saya baik-baik saja. Kepercayaan produser terhadap saya tetap ada. Saya tidak merasakan dampak negatif.” Kata si Reza

Ini kebalikan dari masa lalu. Dulu, waktu SMP tren internet, google, dan facebook sedang naik-naiknya. Youtube saat itu tidak serame sekarang, namun malah lebih asyik dulu ketimbang sekarang.

Ketika saya merasa penat dan bosan. Saya langsung genjot sepeda ke warnet. Tak peduli itu malam, hujan, atau panas. Saya tetep nekat hanya kepingin nonton cover lagu di Youtube, sekalian belajar gitar. Lalu main Facebook satu jam sudah seneng. Kadang malah janjian sama temen mau online jam berapa. Hanya sekedar kepengin chatingan.

Nah sekarang, akses internet 24 jam non stop. Setiap saat kita terhubung dengan banyak orang. Grup WA rame dan Instagram rame. Itu semua membuat saya penat, dan kepingin membatasi arus deras itu.

Grup WA misal, kemrutuk gak karuan. Ada grup pemuda, yang isinya cuma meributkan hal sepele. Padahal kalau saja mau ketemu, dibahas dan diobrolkan langsung pasti gampang-gampang aja.

Tapi ditengah keriuhan itu, Twitter saya mulai sepi. Kawan-kawan saya tak bayak lagi yang pakai. Dari sekian ratusan teman di Twitter, paling cuma puluhan yang online. Nah disitu saya merasa nyaman, karena tidak seriuh medsos lain.

Saya tetap butuh ruang untuk menulis. Banyak keresahan atau sambatan yang kepingin saya salurkan ke media. Yang paling mudah dan nyaman yaa Twitter. Kalau dikirim ke media daring mungkin tidak laku. Lawong isinya curhat saja. Lagian saya ini siapa. Nama saya belum menjual. Kalaupun tulisan ini tembus media, coba tanya redakturnya, jangan-jangan gak ada tulisan lain yang masuk.

Makanya saya kepingin tetap Twitteran. Untuk sekedar menyehatkan pikiran. Menggerakan otak untuk tetap berfikir. Proses itu didapat melalui kreatifitas menuangkan ide lewat tulisan. Proses itu juga terjadi saat membaca. Perlahan saya mendapat kenikmatan membaca dan menulis.

Mungkin ini saatnya untuk mengurangi keriuhan, kesemrawutan, dan kemrutukan media sosial. Lalu menempuh jalan sunyi ala ala para filsuf lewat jalur tasawuf modern milik Hamka. Setidaknya pengen banget untuk beberapa hari/minggu/bulan ke depan saya lepas dunia permedsosan. Lamanya tergantung sikon, pengennya sih selama mungkin, kasian kesehatan mental saya hehehe~

Penulis

foto EventKampus.com
EventKampus.com
tanya langsung

Komentar