Logo Eventkampus

Asal-usul Taman Sriwedari

access_time | label Lainnya
Bagikan artikel ini
Asal-usul Taman Sriwedari

Taman Sriwedari, sebagaimana dikisahkan dalam Serat Arjunasasra, adalah nama taman-buatan milik Prabu Arjunasasra yang keelokannya tiada beda dengan taman-taman di surga karena memang asli ciptaan Sri Batara Wisnu.

Kendati banyak nama pada masa lalu yang dipinjam-sandang untuk nama-nama pada masa kini, seperti nama orang yang diambil dari nama wayang, belum pernah ada yang meniru nama "Sriwedari". Taman Sriwedari di Surakarta adalah perkecualiannya. Hal itu bisa jadi karena faktor kemiripan karena, selain keberadaan Taman Sriwedari memang serba-menyenangkan, keelokannya sekarang pun tiada terbantahkan.

Berikut adalah sejarah berdirinya Taman Sriwedari di Surakarta:

Alkisah, sepulang dari lawatan ke Ponorogo, Sinuhun Pakubuwana II sampai di Kartasura mendapati keratonnya dalam keadaan rusak berat akibat serangan tentara Cina. Sinuhun kemudian bertitah, segera siapkan tempat yang tepat dan memadai untuk pindah keraton. Dijumpailah tempatnya, yakni Dusun Sala. Nama "Sala" sebenarnya adalah nama seorang tokoh setempat, yaitu abdi dalem jajar Ki Busala. Letaknya di ujung tenggara benteng keraton pada mana di situ masih tersua petilasan makam Ki Busala yang kerap dikunjungi peziarah untuk bertirakat.

Penetapan titik-mula pembangunan keraton konon dilakukan dengan berpatokan pada langkah gajah Sinuhun: di mana pun langkah sang gajah berhenti, di situlah kandidat titik-mula keraton ditancapkan.

Dibebaskan berjalan dari Kartasura sambil diiringi para abdi dalem, gajah Sinuhun melenggang gontai ke arah timur. Setiba di Sala, sang gajah masih saja melenggang makin ke timur hingga berhenti dan lalu bergeming di satu titik. Titik bergeming sang gajah itu, menurut cerita orang-orang tua dahulu, tepatnya berada di selatan Loji Sriwedari yang kini dikenal sebagai Balekambang itu (sebagaimana tampak di gambar). Di radius kanan-kirinya kemudian ditetapkan sebagai bakal keraton. Pohon beringin pun ditanam sudah. Nama dusun itu adalah Kadipala, masih eksis hingga kini. Akan tetapi, segera setelah menyusul adanya ramalan yang menyatakan bahwa jika didirikan di situ maka keraton terancam tidak akan langgeng, maka titiknya lalu digeser lebih ke timur lagi. Titik hasil geseran itulah yang tidak lain adalah tempat keraton sekarang ini.

Ikhwal keadaan Dusun Kadipala dan titik gajah itu bergeming selanjutnya tidak disebut-sebut lagi. Kanan-kirinya lalu berkembang pesat menjadi permukiman yang sangat luas. Di sini, hanya lahan yang menjadi Taman Sriwedari saja lah yang akan diceritakan.

Pada era Sinuhun yang sekarang bertakhta, lahan Taman Sriwedari hanya menjadi tiga bagian:

  • Di sisi timur dan belok terus ke selatan: permukiman milik keraton. Di situ tersua loji agung yang sekarang sudah dialihfungsikan menjadi museum. Tergolong sudah agak kuno, loji itu konon dibangun oleh Tuan Susman. Tidak lama ditempati oleh warga Belanda itu, loji lalu kosong cukup lama karena dianggap sangat angker. Sekali waktu Kanjeng Pangeran Arya Mangkudiningrat pernah menempatinya hingga beberapa tahun, tapi setelah itu kosong lagi.
  • Di sisi barat loji agung: rumah milik Ki Padmasusastra. Ketika masih tinggal di sana, Ki Padma dan rumahnya menjadi tempat belajar-mengajar kesusasteraan Jawa. Tempatnya dijuluki Lamongan, diambil dari nama cikal-bakal penghuninya: Mas Ngabei Lamong.
  • Makin ke barat lagi: rumah Mas Ngabei Karyadongsa. Itu adalah sebuah rumah yang, karena sedemikian tertutupnya oleh kelebatan semak-semak bambu ori, sampai-sampai susah terlihat.

Segera setelah lokasinya ditetapkan sebagai bakal taman raja (Sriwedari), orang-orang yang bermukim di situ diperintahkan untuk pindah. Sedangkan yang ditunjuk untuk mewujudkan, sekaligus yang memberi nama, taman tersebut adalah mendiang Kanjeng Raden Adipati Sasradiningat alias Kanjeng Ngendrapastha.

Di awal-awal didirikan, yakni ketika hampir semua tanaman di dalamnya masih baru, Taman Sriwedari memang terasa panas sekali. Seiring waktu, panoramanya menjadi elok hingga saat ini mirip keelokannya taman Sriwedari. Lebih-lebih, di sana dilengkapi pula dengan museum berisi barang-barang kuno dan Jawa tulen, taman pustaka berisi buku-buku yang bebas dibaca, serta aneka fauna.

Bisa dipastikan, saat ini Sriwedari telah menjadi tempat hiburan favorit. Siapa pun yang datang dijamin tidak akan kecewa. Kalau lapar, sudah ada penjual macam-macam makanan. Manakala akhir pekan tiba (sejak Sabtu malam) atau manakala Sriwedari dijadikan panggung hiburan, menyemutnya lautan manusia beserta sajian-sajian pertunjukan yang ada niscaya mengundang decak kagum siapa pun yang baru tahu.

Barangsiapa yang ke Sriwedari pada akhir pekan, sudah pasti terhiburlah perasaannya. Betapa tidak, ada banyak hiburan bagus-bagus dan menyenangkan. Suara band mengalunkan musik yang dipadu oleh lembutnya semilir angin segar bisa memabukkan sekaligus membuat mata terkantuk-kantuk. Paduan semua rasa nikmat itu seakan-akan menciptakan ekstase. Tetapi, berhubung itu tempat hiburan, rasa semacam ekstase tersebut berganti dengan rasa ingin tidur saja.

Jadi bisa dibilang, bagi siapa pun orang luar daerah, apabila bertandang ke Surakarta tapi belum melihat Sriwedari dengan mata kepala sendiri, itu sama saja artinya dengan belum mengenal "jiwa"-nya Surakarta.

 

Penulis

foto Isnan Wahyudi
Isnan Wahyudi
SMK Negeri 2 Karanganyar
Berusaha yang terbaik

Artikel Terkait

ragam wisata alam di indonesia
04 Januari 2018
Budaya , adat istiadat dan "bersimbol agama"
16 Januari 2020
Museum Sangiran
20 Februari 2020

Komentar