Makanan tradisional Indonesia merupakan potensi ekonomi kreatif yang luar biasa. Bahkan, kuliner ini menjadi salah satu unggulan diantara 16 subsektor industri ekonomi kreatif.
Dari sektor kuliner inipun berhasil memberikan kontribusi sekitar 33 persen terhadap total Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Disamping untuk pemenuhan zat gizi, kuliner diharapkan dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier masyarakat.
“Dalam kaitan wisata, makanan tradisional ini lebih berfungsi sekunder karena cenderung soal cita rasa yang unik. Ada 56 makanan di Jogja dan sekitarnya yang telah kita uji, dan banyak makanan tersebut berasa gurih dan asin, sementara untuk snack lebih berasa manis," ujar dr. Lily Arsanti, STP., MP, di ruang theater Perpustakaan FKKMK UGM, Rabu (18/12).
Lily, pakar gizi kesehatan FKKMK UGM, menyebutkan dari beberapa contoh makanan tradisional di Jogjakarta maka untuk makanan utama rata-rata penyumbang energi tinggi, sedang untuk makanan selingan (snack) lebih tinggi gula. Dicontohkannya, orang ke Jogja makan gudeg maka dalam satu sajian gudeg, ada nasi, telur, ayam suwir, gudeg sendiri dan krecek.
Setelah dilakukan analisis energi dalam kandungan gudeg tercatat energi 1027,75 kilokalori, lotek 689,2 kilokalori, padahal setiap hari manusia hanya membutuhkan 2.100 kilokalori. Artinya untuk makan sepiring gudeg hampir separuh kebutuhan kalori sehari sudah terpenuhi.
“Inilah yang memiliki kontribusi peningkatan obesitas dan diabetes," katanya saat menjadi pembicara Talkshow Kesehatan Mengenal Kandungan Gizi Makanan Tradisional dan Kaitannya Dengan Peningkatan Prevalensi yang diselenggarakan FKKMK UGM.
Meski berkontribusi memicu obesitas dan diabetes, makanan tradisional dinilai memiliki sisi-sisi positif. Makanan tradisional Jogja relatif memiliki kandungan serat tinggi, misalnya lotek, gudangan dan lain-lain. Selain itu, makanan inipun diolah secara tradisional sehingga mampu mempertahankan kadungan gizi.
“Ada beberapa makanan tradisional juga memiliki efek fungsional seperti growol. Misalnya, anak yang setiap hari selama seminggu makan growol, risiko terkena diare lebih kecil dibanding tidak makan growol sehingga disamping memiliki sisi negatif, makanan tradisional memiliki sisi positif," tuturnya.
Oleh karena itu, ia sangat berharap makanan tradisional ini tetap lestari. Agar lebih digandrungi masyarakat, katanya, perlu memodifikasi makanan tradisional agar lebih menyehatkan dengan mengurangi porsi penyajian dan mengurangi kandungan gula.
Dr. Vina Yanti Susanti, Sp.PD-KEMD., M.Sc., Ph.D menyatakan telah terjadi perubahan pola penyakit terkait dengan perilaku manusia. Pada tahun 1990 penyebab terbesar kesakitan dan kematian adalah penyakit menular seperti infeksi saluran pernafasan atas, tuberkolosis, diare, maka sejak tahun 2010 penyebab terbesar kesakitan dan kematian adalah penyakit tidak menular, seperti tekanan darah tinggi, stroke, jantung, kanker, kencing manis.
Untuk itu, katanya, penyakit tidak menular perlu dicegah melalui gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS). Bentuknya adalah dengan melakukan aktivitas fisik, mengonsumsi sayur dan buah, tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, memeriksa kesehatan secara rutin, membersihkan lingkungan dan menggunakan jamban. (Humas UGM/ Agung)
Sumber : https://ugm.ac.id/id/berita/18873-agar-menyehatkan-makanan-tradisonal-perlu-dimodifikasi