Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki pasokan air laut dan air payau yang sangat melimpah. Dengan metode yang benar, melimpahnya sumber daya ini dapat dimanfaatkan masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan akan air tawar mereka. Semakin berkurangnya sumber air baku tawar, mendorong Harmin dengan timnya untuk melakukan penelitian ini.
Teknologi yang sedang dikembangkan Harmin dan timnya merupakan sebuah teknologi biodesalinasi yang menggunakan asas fitoteknologi, yakni sebuah metode yang memanfaatkan tumbuhan dengan mikroorganisme pada akarnya untuk menangani kasus pencemaran dalam air. Pada kesempatan ini, tumbuhan yang digunakan merupakan tanaman mangrove dengan bantuan mikroorganisme dalam sebuah reed bed system. “Sehingga dalam sistem ini ada proses fisik, kimia, dan biologis untuk bisa menyisihkan salinitas (keasinan) pada air payau,” jelas alumnus S1 Teknik Lingkungan ITS ini.
Harmin juga menambahkan bahwa teknologi biodesalinasi ini memiliki biaya operasional yang lebih rendah. “Banyak teknologi desalinasi air laut menjadi air tawar, namun biaya operasionalnya lebih tinggi seperti teknologi membran,” papar perempuan asal Malang ini.
Pada prosesnya, dosen yang menggeluti bidang remediasi lingkungan ini menjelaskan, akar dari tumbuhan mangrove dengan bantuan mikroorganisme memiliki kemampuan untuk menyerap dan mengakumulasi ion yang ada dalam air. “Ada proses uptake ion Na dan Cl oleh tumbuhan mangrove, serta proses filtrasi oleh media pasir dan kerikil yang digunakan dalam reaktor reed bed,” tuturnya.
Selain dapat menyerap ion-ion dalam air, menurut Harmin, mikroorganisme ini mampu membuat proses penyisihan salinitas air menjadi lebih stabil. “Bakteri yang kami gunakan yaitu Halobacterium, sehingga mampu membuat penyisihan salinitas lebih stabil,” terang Harmin lagi.
Penelitian yang dilakukan di Laboratorium Remediasi Lingkungan Departemen Teknik Lingkungan ITS ini sudah berjalan selama dua tahun dan sudah mampu untuk menurunkan salinitas air secara signifikan. “Dapat diketahui bahwa sistem tersebut mampu menurunkan salinitas awal air sebesar 25 per mil menjadi 1,9 per mil,” ungkap dosen kelahiran 1975 ini.
Meski demikian, Harmin mengakui, air dengan tingkat salinitas ini masih tergolong sebagai air payau. Sehingga penelitian tersebut masih akan terus dilanjutkan untuk bisa menurunkan salinitas air hingga kurang dari 0,05 per mil yang merupakan tingkat salinitas untuk air tawar. “Penelitian masih akan terus berlanjut untuk tahun ketiganya di tahun 2020 ini,” ujar Harmin.
Dalam tahun ketiga penelitian bersama rekan-rekannya tersebut, Harmin berharap penelitian masih dapat terus dilanjutkan dengan adanya dana desentralisasi dan nasional. Teknologi ini juga direncanakan akan dikombinasikan dengan metode-metode lain “Misalkan dengan elektrolisis atau dengan ion exchange, agar nantinya bisa diaplikasikan,” pungkasnya. (ri/HUMAS ITS)