Ternyata dulu selain Persis Solo, di era tahun 1990-an masyarakat Kota Solo punya sebuah klub sepak bola bernama Arseto. Arseto Solo merupakan klub sepak bola milik putra Presiden Soeharto, Sigit Harjojudanto. Pada awalnya, Klub Arseto FC bermarkas di Jakarta. Namun sejak Presiden Soeharto meresmikan Stadion Sriwedari pada 1983, klub itupun mulai memainkan pertandingan kandangnya di Solo.Bermula dari sana, Arseto menjelma sebagai klub besar. Bahkan tim itu beranggotakan pemain bertabut bintang pada masanya seperti Ricky Yacobi, Sudirman, Nasrul Kotto dan Rochi Putiray. Bahkan di masa akhir pemain besar seperti Komang Putra dan Agung Setyabudi masih bergabung dengan Klub Arseto FC. Seiring waktu, klub itupun semakin dicintai warga Solo. Basis penggermar pun muncul. Berbagai pertandingan Arseto yang rutin digelar di Stadion Sriwedari selalu di Padati Penonton.
Semenjak pindah dari Jakarta ke Solo di tahun 1983, Arseto menjelma sebagai sebuah klub besar. Menurut mantan pengurus Arseto, Chaidir Ramli, ada dua pertimbangan manajemen klub memindahkan kandangnya ke Solo. Di samping karena di Jakarta sudah banyak tim sepak bola, alasan lainnya adalah ingin mengembangkan pembinaan sepak bola di Solo waktu itu. Keberadaannya pun semakin mendapat tempat yang spesial di hati warga Solo. Namun meski selalu masuk sebagai klub jajaran papan atas, Klub Arseto Solo baru bisa merasakan gelar juara pada tahun 1992. Hal itu tak lepas dari pemain-pemainnya yang hebat waktu itu dan jasa tangan dingin pelatih Dananjaya.
sebelum nama Pasoepati muncul sebagai kelompok suporter fanatik asal Solo, dulu klub Arseto sudah punya basis suporter bernama KPAS (Kelompok Pecinta Arseto Solo). Waktu itu, belum ada nyanyian yel-yel untuk memberikan semangat pada klub yang sedang bertanding. Kelompok KPAS hanya memberikan dukungan berupa teriakan untuk membakar semangat. Namun, KPAS selalu memadati stadion kalau klub idola mereka bertanding, terlebih bila menghadapi rival berat. Para warga Solo pun seolah lupa dengan keberadaan Persis Solo yang waktu itu memang sulit berkiprah di kasta tertinggi sepak bola Indonesia.
Sayangnya klub Arseto Solo tak berumur panjang. Pada tahun 1998, klub Arseto Solo dibubarkan bersamaan dengan penghentian kompetisi akibat kasus kerusuhan. Bahkan pada 6 Mei 1998, laga terakhir Arseto Solo melawan Pelita Jaya di Stadion Sriwedari berakhir dengan kericuhan hingga menjalar pada peristiwa Mei 1998 di Kota Solo. Setelah pertandingan itu, para pemain dikumpulkan di Mes Kadipolo untuk memberi tahu bahwa klub itu akan dibubarkan.