Hukumonline berusaha menampilkan sosok, pikiran dan gagasan sejumlah guru besar perempuan dari lingkungan perguruan tinggi negeri.
Tahun 2019 segera berakhir. Indonesia akan memasuki tahun 2020, menyambut era disrupsi yang menggerus banyak aspek kehidupan masyarakat dan negara. Era di mana kalangan milenial mendapat tempat. Era ketika benih-benih milenial itu bersemai dari pemikiran dan inovasi di kampus dan dunia usaha, lalu menyebar ke mana-mana. Masa di mana pemikiran ahli semakin sering diabaikan karena banyaknya saluran informasi yang diperoleh warga.
Tom Nichols merepresentasikan perilaku masyarakat di media sosial lewat buku Matinya Kepakaran (The Death of expertise). Orang merasa bebas mengunggah apapun di media sosial, mulai dari curhat sampai tulisan yang serius. Rambunya memang dibuat, antara lain di Indonesia, UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Puluhan -bahkan mungkin ratusan orang- sudah mendekam di balik jeruji besi lantaran tersandung larangan mengunggah konten tertentu. Jumlahnya mungkin akan terus bertambah karena, seperti digambarkan Nichols, orang kadang lebih percaya informasi dari media sosial ketimbang yang disampaikan para ahli dari dunia kampus.
“Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng sang penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok”. Ironisnya, masyarakat acapkali terbelah hanya karena lebih percaya informasi yang disampaikan lewat media sosial ketimbang yang disampaikan pakar atau orang-orang pemerintah.
Sebenarnya, dunia kampus -termasuk di Indonesia- tidak pernah berhenti menghasilkan gagasan, pemikiran, dan pandangan dari berbagai bidang ilmu. Jauh sebelum Indonesia merdeka, ketika Sekolah Hukum dibangun, kemudian berlanjut ke Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshooge School), penelitian dan kajian tentang hukum berkembang, meskipun saat itu disesuaikan dengan kebutuhan pada masanya.
Jumlah orang yang bersekolah pun bertambah; jumlah yang memasuki dunia pendidikan terus naik. Simak saja data historis berikut. Setelah politik Etis diterapkan Belanda di daerah jajahannya Hindia Belanda, dalam jangka 10 tahun (1910-1920), jumlah murid yang memasuki Sekolah Desa naik dari 71.239 menjadi 423.314. Murid Indonesia yang bersekolah di HIS dan ELS selama periode 1900-1910 mengalami kenaikan 100 persen menjadi 5.108 orang. Ketika Sekolah Hukum (Rechtsschool) ditutup, sekolah ini telah menghasilkan tak kurang dari 189 abituren. Sebagian di antaranya adalah orang-orang yang menduduki posisi penting di dunia hukum setelah Indonesia merdeka.
Memang, harus diakui, bagian terbesar dari lulusan Sekolah Hukum itu adalah pria. Bukan berarti tidak ada nama perempuan dalam perjuangan bangsa Indonesia baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Nama-nama perempuan yang ditetapkan Pemerintah sebagai pahlawan nasional merepresentasikan dan membuktikan peran penting kaum Hawa. Penetapan terbaru pahlawan nasional adalah Ruhana Kuddus, wartawati pertama, yang berjasa mengembangkan pendidikan di daerah asalnya di Sumatera Barat.
Setelah Indonesia merdeka, jumlah perempuan yang terdidik terus mengalami peningkatan. Kesempatan semakin terbuka lebar. Di era milenial, sudah banyak perempuan yang memegang posisi penting di dunia hukum. Tidak hanya mengelola firma hukum, tetapi juga di kepolisian dan kejaksaan. Di dunia akademik lebih terbuka lagi. Sejarah pendidikan hukum setelah era 1970-an dihiasi banyak nama perempuan yang memperoleh capaian tertinggi di lingkungan akademik: professor. Mereka tak hanya menjadi Guru Besar bidang hukum tertentu tetapi juga menjadi pejabat struktural dekanat atau rektorat.Hukumonline berusaha menampilkan sosok, pikiran dan gagasan sejumlah guru besar perempuan dari lingkungan perguruan tinggi negeri. Liputan khusus ini terilhami oleh pertemuan Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Hukum Negeri se-Indonesia di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jum’at (29/11) lalu. Dalam pertemuan ini hadir antara lain Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Farida Patittingi, dan beberapa akademisi fakultas hukum. Farida hanya salah satu dari banyak Guru Besar perempuan yang menempati posisi penting di fakultas hukum.
Nah, liputan khusus hukumonline kali ini akan menghadirkan beberapa Guru Besar Fakultas Hukum dengan menekankan pada gagasan-gagasan mereka ketika menyampaikan pidato pengukuhan. Tentu saja, sosok mereka akan ditampilkan untuk mengenalkan kepada pembaca tentang gagasan, pengalaman, penelitian, dan pandangan mereka di dunia akademik hukum.
Liputan khusus ini tidak akan menghadirkan seluruh Guru Besar Ilmu Hukum perempuan yang pernah ada. Redaksi telah memilih beberapa di antaranya, dengan harapan di masa mendatang diteruskan ke nama-nama lain. Pilihan bukan didasarkan pada pemikiran bahwa yang satu lebih hebat dari yang lain. Hukumonline berusaha menampilkan representasi kampus hukum negeri yang berhasil diperoleh selama dalam peliputan.