Dalam presentasinya, Dwi Bagus Horiyantomy mengungkapkan bahwa serat karbon saat ini menjadi salah satu material yang sering digunakan dalam pemodelan rangka sepeda. Hal tersebut didukung oleh karakteristik serat karbon yang dinilai mampu menjawab berbagai masalah dalam proses pemodelan sepeda.
Karakteristik dasar dari serat karbon adalah massa jenisnya yang lebih rendah dibanding baja dan aluminium sehingga memungkinkan untuk mengurangi berat sepeda keseluruhan. “Sepeda yang dibuat bisa sangat ringan tapi tetap sangat kuat,” tutur pria yang akrab disapa Tomy tersebut.
Selain itu, serat karbon juga memiliki sifat low thermal expansion dan tensile stress yang cukup tinggi untuk menahan benturan eksternal yang biasa terjadi pada sepeda. “Karena penggunaan polimer resin sebagai salah satu matriksnya, performa serat karbon cocok untuk penggunaan jangka panjang,” imbuh insinyur desain dari PT. Insera Sena ini.
Sependapat dengan Tomy, Yohanes Budi Utomo juga menyoroti karakteristik dasar serat karbon yang ringan sehingga mengurangi konsumsi bahan bakar mobil. Body Shop Senior Specialist PT. Hyundai ini juga menambahkan bahwa penggunaan material tahan karat menjadi poin penting dalam konstruksi badan mobil. Namun, penggunaan material serat karbon masih tergolong mahal. Selain itu pemasoknya pun tidak banyak seperti material lain yang telah umum digunakan dalam dunia otomotif,” jelas Yohanes.
Lebih lanjut, penggunaan serat karbon sudah sangat populer di perusahaan mobil Eropa. Sebagai contoh pada mobil Audi R8, BMW 7 Series, dan BMW i3 Series. Sedangkan di Indonesia penggunaan serat karbon belum dilirik oleh perusahaan otomotif. Material ini lebih sering digunakan sebagai pertimbangan kondisi pasar Indonesia. “Karena di Indonesia saat ini fokus pada segmen menengah ke bawah,” tutur pria kelahiran Lamongan ini.
Sementara itu, Afriyanto menjelaskan penggunaan serat karbon menjadi salah satu dari empat tipe komposit yang sudah sangat umum digunakan untuk konstruksi pesawat. Sebanyak 50 persen badan pesawat Boeing 787 sudah menggunakan serat karbon. “Sama halnya dengan Airbus A350, komposit serat karbon yang digunakan hampir 52 persen,” terang insinyur di PT GMF AeroAsia tersebut.
Namun disisi lain, penggunaan serat karbon memiliki tantangannya tersendiri terutama pada segi harga dan proses perawatannya. Kerusakan di bagian dalam pesawat yang menggunakan serat karbon sulit terdeteksi secara visual sehingga perlu waktu lama untuk mendeteksi seluruh komponen pesawat menggunakan ultrasonik. Ditambah lagi fasilitas untuk mendaur ulang serat karbon yang masih sangat sedikit. “Menurut jurnal yang sudah saya baca, baru ada dua fasilitas daur ulang serat karbon di dunia yaitu di Eropa,” ujar Afriyanto.
Di penghujung acara, Afriyanto dan kedua pembicara lain berharap kegiatan yang digelar Tim Antasena ini dapat menjadi wadah untuk berbagi ilmu yang bermanfaat kepada seluruh peserta. Tidak hanya itu, penggunaan dan riset terkait serat karbon juga diharapkan lebih masif lagi. “Semoga ilmu dan acara ini dapat bermanfaat untuk kita kedepannya,” pungkasnya. (*)
Reporter : ion10
Redaktur : Luthfi Fathur Rahman